Bencana 2018

Berbagi Cerita Pedih di Lokasi Salat Idul Fitri

BERTUKAR CERITA - Usai salat warga Petobo bertukar cerita soal musibah yang dialami pada bencana 2018.

SUASANA emosional menyelimuti salat idul fitri 1440 Hijriah di Huntara (hunian sementara ) Petobo, Palu Selatan pagi tadi. Ini adalah idul fitri pertama sejak tragedi kemanusiaan delapan bulan silam. Merayakan salat idul fitri tanpa kehadiran orang-orang yang disayangi terasa menyesakkan dada. Setidaknya itulah yang terlihat di lapangan mini Petobo tempat berlangsungnya salat id.

Sejak pukul 06.00 warga yang tinggal di huntara mulai berbondong menuju pelaksanaan salat yang terletak beberapa meter dari reruntuhan liquefaksi. Pukul 07.00 tepat, imam memulai salat id, dilanjutkan khotbah yang berakhir pukul 07.49. Usai salat warga yang umumnya bertetangga bahkan mayoritas masih kerabat keluarga itu, mulai bersalaman satu sama lain.

Suasana sentimentil terlihat di shaf perempuan. Mereka bersalaman satu sama lain, saling menanyakan keadaan. Suasana masih terlihat guyub. Tiba tiba di pinggir lapangan pecah tangis seorang ibu. Ia tak sanggup menahan emosinya saat mendengar cerita anak gadis kerabatnya itu hilang dan tak ditemukan sampai sekarang. Ia terus menangis dan baru berhenti beberapa saat.

Pada jarak yang tak terlalu jauh, seorang perempuan muda tampak sesenggukan, menyeka air matanya dengan ujung mukena. Kawannya yang berdiri disamping terus mendekap erat, membiarkan sahabatnya menumpahkan emosi yang menyesaki dadanya.

Di shaf pria, suasana sentimentil tak begitu terlihat. Namun tetap saja beberapa orang yang bergerombol 5 – 6 orang bercerita tentang kepergian orang orang terkasih mereka. Guratan kesedihan terlihat jelas di wajah-wajah mereka.

Jamaah salat id, menjadi gampang terbawa perasaan, isi khotbah salat id, walau tidak mengeksplorasi cerita sedih pada tragedi kelam itu, namun khatib H. Husen Habibu tetap tetap menyinggung peristiwa 28 September itu. Selain itu, posisi lapangan yang berjarak beberapa meter dari lokasi liquefaksi memaksa warga terus mengenang kerabat mereka hilang dalam gulungan lumpur di malam gelap itu.

Ini diakui Ibu Ariana (27). Menurut ibu muda ini setiap menatap lanskap Petobo yang kini sudah menghijau oleh rumput liar, bayangannya selalu melayang ke adik perempuannya hilang dilumat lumpur ganas di malam naas itu. Sore nanti sejumlah warga akan ziarah di kompleks kediaman mereka di Petobo untuk mengenang orang orang yang dicintainya. ***

Penulis: Yardin Hasan
Foto: Yardin Hasan

artikel ini adalah republikasi dari web kabarsultengbangkit yang diinisasi AJI bekerjasama dengan Internews untuk bencana 2018

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan