PROTES di New York tanggal 8 Maret 1908 yang menuntut hak-hak perempuan diantaranya hak untuk bekerja, hak politik juga hak pendidikan menjadi simbol pertama gerakan perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak-haknya yang pada 1977, 69 tahun kemudian Internasional Womans Day diakui Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Hak Pendidikan tidak hanya persoalan belajar di Perguruan Tinggi resmi dengan berbagai macam persyaratan yang membebani masyarakat. Pun setara dalam ruang publik, tidak melulu tentang hak dipilih dan memilih dalam politik.
Melainkan dapat pula ketika perempuan diberikan ruang untuk belajar hal-hal baru dalam institusi tidak resmi, serta memiliki kesempatan berbicara dan diperhitungkan suaranya dalam proses menentukan keputusan dalam kelompok masyarakat skala kecil, baik tingkat desa maupun dalam skala rumah tangga.
Kesempatan-kesempatan tersebut tentu saja harus dibarengi dengan keberanian perempuan untuk mencoba, seperti yang dilakukan dua ibu dari perbatasan Indonesia – Timor Leste, tepatnya di Desa Naku, Kecamatan Biboki Feotleu, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Dua perempuan yang tidak lagi muda, sudah menikah, punya anak, bahkan cucu.
Adalah Susana Hoar Manehat (62) dan Yuliana Biin (45), dua Mama Bambu dari Timor yang belajar sistem irigasi tetes berbahan bambu di Manggarai Barat, Flores. Barangkali bagi sebagian kita, belajar dan melakukan perjalanan untuk proses transfer pengetahuan adalah lumrah, tapi tidak bagi keduanya.
Mama Susana, saapan akrab Susana Hoar Manehat dan Mama Yuli (Yuliana Biin) bahkan baru pertama kali bepergian dengan moda transportasi pesawat tebang.
Perasaan gugup dan cemas memenuhi hati mereka sama besarnya dengan keberanian ketika mengiyakan permintaan saya, agar mereka mewakili kelompok memenuhi undangan lembaga sebagai peserta pelatihan Mitigasi Perubahan Iklim dan Pembuatan Irigasi Tetes di Desa Golo Damu, Manggarai Barat, NTT.
Mama Susana dan Mama Yuli adalah dua dari 20 orang anggota kelompok Pembibitan Bambu yang termasuk dalam program Restorasi Ekonomi dan Ekologi Bambu Agro-Ekologi yang dilaksanakan oleh Yayasan Bambu Lingkungan Lestari (YBLL) untuk mendukung programForest and Other Land Uses (FOLU) [1].
YBLL atau Enviromental Bamboo Foundation (EBF) adalah Organisasi Non Profit (NGO) yang fokus pada bambu dan isu perubahan iklim, juga pemulihan lahan terdegradasi sejak 30 tahun terakhir.
Sejak awal dibentuknya kelompok pembibitan yang diberi nama Kelompok Cinta Lingkungan, Mama Susana didapuk menjadi ketua kelompok. Hal tersebut berdasarkan rekam jejaknya menggerakkan anggota kelompoknya untuk program dari NGO sebelumnya dan program pemerintah kabupaten yang ada di desanya.
Meski demikian, dalam perjalanannya mengatur persemaian bibit bambu dan perawatan bibit, Mama Susana nampak ragu ketika berbicara di depan publik yang lebih massal, terlebih jika ada orang dari luar desanya.
Tetapi ketika orang-orang berkurang, hanya ada beberapa anggota kelompok dan saya, Mama Susana cakap berbicara tentang program bambu. Sehingga akan menjadi media berlatih yang baik jika istri dari Bapa Ande (Andrekus Taek) itu berkenalan dan berbincang dengan banyak orang dari luar.
Sedangkan Mama Yuli, ia jauh lebih percaya diri ketika diminta mengatakan pendapatnya di depan khalayak. Tetapi beberapa kali menjadi gagap sebab terbatasnya pengetahuan. Baik Mama Yuli maupun Mama Susana hanya menamatkan pendidikan di bangku Sekolah Dasar.
Pertama Kali Naik Pesawat

Dari desa mereka, Desa Naku, mereka naik ojek kurang lebih 40 menit untuk tiba di jalan raya Atambua – Kupang. Perjalanan dilanjutkan dengan menaiki bus Atambua – Kupang PP dan berhenti di Kefamenanu, dengan waktu tempuh 2,5 jam. Di Kefa–Kefamenanu–saya telah menunggu sembari menyiapkan beberapa keperluan.
Mama Susana dan Mama Yuli start sekitar pukul 8 pagi dan tiba di Kefa ketika matahari sudah lebih dari tengah kepala. Perjalanan menjadi lebih lama karena menunggu waktu bus tiba, dan mengikuti kehendak sopir mengangkut dan menurunkan penumpang.
Saya menjemput Mama Susana dan Mama Yuli, mengajak makan siang, dan membawa mereka beristirahat di kos saya yang sederhana. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Kupang, Mama Susana dan Mama Yuli menghabiskan waktu melihat-melihat koleksi produk bambu EBF di Pameran dan Expo HUT Kota Kefamenanu.
Pukul 7 malam dengan mobil sewaan, kami berangkat menuju Kupang. Di perjalanan, Mama Susana meminta Om Sopir menurunkan kaca mobil. Ia merasa mual dengan kaca tertutup dengan AC menyala. “Dingin dan tidak ada udara,” kata Mama Susana. Kaca Jendela diturunkan, Mama Yuli pindah ke kursi bagian belakang agar bisa berbaring.
Kami tiba di loby hotel, di Kupang, pukul 23.23. Setelah chek in, dengan tubuh yang lelah, saya mendemonstrasikan penggunaan toilet kepada Mama Susana dan Mama Yuli. Ini adalah kali pertama mereka menginap di hotel dan masih asing dengan penggunaan toilet jongkok, bidet, shower.
Sabun, sikat gigi, odol dan handuk bisa dipakai, walaupun akhirnya mereka menggunakan alat mandi sendiri. Saya bersih-bersih lebih dulu, beribadah, dan tidur. Mama Yuli langsung lelap begitu kepalanya menyentuh bantal. Mama Susana masih mencoba mengingat yang saya demonstrasikan tadi.
Setengah sadar saya mendengar percakapan mereka dalam bahasa tetun yang tidak saya mengerti. Saya membuka mata dan mendapati Mama Susana dan Mama Yuli senyum-senyum. Ternyata mereka berdiskusi cara menggunakan shower, dan segan untuk membangunkan saya. Mereka menunda mandi dan menunggu saya bangun.
Sembari menyarap di hotel, saya bertanya persiapan keduanya dari desa Naku. Mama Susana senyum malu-malu. Sambil menyuap makanan, Mama Yuli bilang pagi-pagi sekali ia sudah ditelepon keluarganya untuk bertanya pengalaman hari itu. Dengan semangat Mama Yuli menceritakan kondisi hotel, dan terselip kegugupannya saat akan naik pesawat nanti.
“Kalau Mama Susana, waktu pertama ibu beritahu akan ke Labuan Bajo, Mama Susana senang sekali, tidak sabar juga, terus gugup, padahal belum berangkat. Malam-malam Bapa Ande selalu cerita pengalamannya naik pesawat waktu ke kalimantan. Bawa ini, jangan begini jangan begitu. Mama agak pusing, takut juga,” kata Mama Susana.
Setelah menyarap, kami menuju bandara lebih awal biar Mama Susana dan Mama Yuli bisa berlama-lama di Bandara. Di ruang tunggu Bandara El Tari, keduanya memperhatikan daftar peswat terbang yang akan berangkat di monitor.
Mereka menyapu seluruh ruang tunggu, memperhatikan orang berlalu lalang, beragam aktivitas penumpang yang menunggu jadwal penerbangan. Setiap pemberitahuan pesawat yang akan landing dan bersiap boarding, Mama Susana dan Mama Yuli melihat saya, memastikan apakah itu penerbangan kami, saya menggeleng.
Mereka duduk menghadap lapangan lepas landas, dan bebas memandangi pesawat-pesawat yang parkir. Jangan tanya berapa banyak mereka tersenyum, rasanya mereka seperti dikaruniai segala keberuntungan. Bibir mereka tidak pernah tidak tersenyum, pun mata mereka yang berkilat dengan sedikit air menggenang.
Untuk melakukan perjalanan ini, mereka hanya mengantongi beberapa ratus ribu saja. Tidak sampai 500 ribu. Memang segala akomodasi dan transportasi ditanggung oleh kantor, tetapi dengan tidak memiliki pegangan uang yang cukup, dan tetap bisa naik pesawat dan menginap di hotel, adalah pengalaman yang hampir mustahil mereka dapatkan.
Saya mengurus chek ini bagasi, mereka mengabari keluarga mereka dulu bahwa sudah di bandara dan sebentar lagi flight. Koper saya dan tas mama susana masuk bagasi. Sementara Mama Yuli hanya membawa day pack kecil.
Entah ia atur bagaimanya barang bawaannya, kecil sekali tasnya. Atau hanya itu barangkali tas yang bisa ia bawa bepergian. Saya mengajari mama naik tangga eskalator. Tapi mama Yuli menolak karena takut dan memilih tangga manual di sebelah. Saat x-ray kedua setelah chek in bagasi,
Karena ini perdana mereka, yang semuanya diurus oleh saya, seorang petugas chek in menanyai saya. Mau kemana ini? Oh bawa para pekerja ya?–Asisten Rumah Tangga. Disangkanya mama berdua itu akan mengikuti pelatihan pembekalan sebelum menjadi pekerja migran.
Saya langsung jelaskan, mereka adalah mama-mama dari desa yang ikut pelatihan irigasi tetes untuk kemudian diajarkan lagi kepada anggota kelompok di desa.
Petugas itu hanya mengangguk tapi menyelidik pada Mama Susana dan Mama Yuli. Seolah perempuan-perempuan paruh baya dari desa dengan penampilan yang sangat sederhana hanya bisa melakukan perjalanan untuk urusan domestik saja.
Sebelum naik pesawat, Mama Susana dan Mama Yuli berpose di depan burung bermesin itu. Tidak hanya bibir dan mata mereka yang tersenyum, tapi seluruh tubuh mereka mengisyaratkan kebahagiaan yang terhidu dengan penuh haru.
Mama susana dan mama Yuli duduk satu baris, saya di baris depannya. Sebelum pramugari memperagakan cara memasang sabuk pengaman, saya telah lebih dulu membantu kedua mama itu memakai seat belt. Ketika pramugari bertugas, meski sudah terpasang sabuk pengaman, pandangan mereka tidak lepas dari pramugari. Lembaran doa, buku petunjuk keselamatan, semuanya dilahap oleh mereka.
“Mama Susana tadi pas naik di pesawat (menaiki tangga pesawat), Mama Susana keluar air mata. Mama Susana terharu, selama ini tidak pernah naik pesawat. Nanti sekarang, sudah 61 tahun, sudah tua, bisa rasakan naik pesawat. Mama Susana tidak sangka, orang dari desa, hanya petani, bisa naik pesawat, ke sini dan belajar di sini. Ini semua karena program bambu, mulai dari sosialisasi,
Mama Susana dan anggota kelompok jadi tahu cara bibit bambu, terus bambu bisa buat macam-macam seperti yang ibu kasih lihat waktu itu, sampe sekarang ini, bisa rasakan naik peswat.
Terima kasih Ibu Iker, dan Pak Jony juga,” ucap Mama Susana sambil mengerjap-ngerjapkan matanya berkali-kali menghalau air mata. “Pas mau terbang itu, saya tutup mata, kencang sekali. Pas turun juga begitu,” sambung Mama Yuli. “Tapi pemandangan dari atas bagus.”
Belajar dengan Melihat Langsung

Satu agenda sebelum pelatihan adalah berkunjung ke kantor YBLL atau Kampus Bambu Komodo (KBK) di jalan Frans Nala, Labuan Bajo. Dipandu Septiani, yang juga staf YBLL, mama bambu dari Timor ditunjukkan bagaimana bambu mampu menghasilkan bangunan bernilai tinggi. Tiang, lantai, hingga atap semua dari bambu, pun furniture.
Beberapa produk bambu dipajang termasuk sepeda bambu. Betapa senangnya Mama Susana dan Mama Yuli. Sejak sosialisasi bulan Maret 2024 di desa mereka, mereka hanya melihat bangunan bambu, furnitur dan produk-produk turunan bambu dan gambar dan video.
Sekarang mereka melihat langsung kantor YBLL dari bambu, produk-produk bambu; kursi, meja, lemari, sepeda, alat makan, dan lainnya. Mereka juga berkesempatan melihat proses pengawetan bambu hingga proses pembuatan furniture di pabrik.
Bertemu Sesama Mama Bambu = Belajar Hal Baru
Sebagai sesama pejuang lingkungan dari akar rumput, pertemuan mama bambu dari Timor dan Mama Bambu di Golo Damu, Flores, adalah satu bagian proses berbagi pengetahuan. Masing-masing bercerita tentang bagaimana mereka awal mula menanam bambu, merawat, dan merasakan manfaatnya saat ini.
Pertukaran pengetahuan tersebut tidak hanya antara Mama Bambu dari Timor dan Mama Bambu dari Manggarai Barat, tetapi juga 2 mama bambu dari Bajawa, Ngada yang juga sebagai pelatih pembuatan irigasi tetes.
Pertukaran pengalaman ini membuat mama Susana dan Mama Yuli semakin memantapkan diri untuk tidak hanya merawat bambu tetapi merawat semangat mereka. Semangat yang langsung mereka mulai setibanya di hotel. Mereka membuat rencana kegiatan saat pelatihaan serupa dilangsungkan di desa mereka.
Mereka mengatur di mana lokasi tenda, apa menu makanannya, bagaimana menyambut tamu, dan paling penting bagaimana mereka melatih mama-mama bambu yang lain untuk membuat irigasi tetes berbahan bambu.

Saya ingin mengakhiri cerita tentang perjalanan Mama Bambu Timor ini dengan beberapa kisah lucu. Setelah selesai pelatihan, selesai pula menyusun konsep kegiatan di Naku kelak, saya mengajak Mama Susana dan Mama Yuli kembali jalan-jalan dari hotel tempat kami menginap ke kampung ujung.
Kami menyusuri trotoar yang dipenuhi pula para pelancong dalam negeri dan luar negeri. Pedagang-pedagang juga mengaso dengan membawa kursi plastik di trotoar sambil mencari pembeli. Mama Susana melihat bule dan tersenyum, dan ketika bule itu balas memberi senyum, Mama Susana tersipu.
Saat makan pun, ia duduk berhadapan dengan pasangan bule di meja sebelah. Mereka saling tertawa dan ia kembali tersenyum. Kalau ditanya cerita lucu dan bekesan saat perjalanan ke Labuan Bajo, ia akan bercerita bagaiaman senyum para bule.
Saat melihat-lihat souvenir, Mama Susana memegang ikat kepala tenun motif Sumba. Ketika bertanya harga kain sekecil itu, ia kaget dan berbisik pada saya. Ini mama susana juga bisa bikin. Ia meletakkan kembali ikat kepala itu, dan bergegas mencari oleh-oleh lain yang lebih ekonomis.
Cerita Mama Yuli lebih melokal. Saat perjalanan dari Bajo menuju Desa Golo Damu, jalannya aspal tapi berkelok-kelok, mama Yuli mabuk, ia mual. Padahal jalannya tidak berbeda jauh dengan jalur Kefa – kupang. Begitu juga saat perjalanan balik.
Mama Yuli bahkan tidak mood lagi berfoto di puncak bukit waringin. Usut punya usut, sudah hari ketiga Mama Yuli belum mengunyah sirih pinang. Di Labuan Bajo, sirih pinang tidak banyak dijual dan mudah didapatkan seperti di Timor.
Mama Yuli bawa pinang dan sirih sebagai bekal dari Desa Naku, tapi lupa bawa kapur. Jadilah sebelum ke bandara, di hari terakhir kami di Labuan Bajo, saya menemaninya mencari kapur di pasar. Setelah makan sirih pinang, wajahnya kembali cerah. ***
Mama Susana, Mama Yuli dan anggota kelompok lainnya membibitkan 5000 bibit bambu dan akan ditanam di lahan Perhutanan Sosial seluah 42,11 ha. Perjalanan dilakukan bulan September 2024, dan pelatihan irigasi tetes di Desa Naku dengan instruktur Mama Susana Susana dan Mama Yuli dilakukan di awal Oktober 2024. Sebelum hari H, mereka praktik dan berlatih dulu, supaya mengurangi kesalahan. Program Kerja Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% melalui rehabilitasi lahan kritis seluas 12 juta ha pada 2030.
Penulis & Foto: Ikerniaty Sandili – Timor Tengah Utara (TTU)
Penyunting: Yardin Hasan