LANGKAHNYA terlihat gontai. Terik mengunjam ganas di atas langit Teluk Lalong pada siang Jumat, seperti tak kenal ampun. Tapi itu tak dihiraukannya. Ia menyeret kakinya yang dilapisi sepatu kets di atas hamparan zoysia japonica menuju gazebo. Totie bag (tas jinjing) berkelir putih dengan tulisan Narasi Ketujuh tampak mencolok menggantung manis di pundaknya. Di samping kawannya, ia melorotkan tubuhnya di atas ubin sambil menguping AS Rosyid yang mengupas Agama dan Mitigasi Bencana yang berjarak tiga meteran dari tempat duduknya.
Dia adalah Ama Gaspar. Salah satu figur penting di balik penyelenggaraan Festival Sastra Banggai, yang tahun ini memasuki edisi ketujuh. Kak Ama seperti itu kawan-kawannya menyapa perempuan boros senyum ini. Senior, yunior, setengah tua bahkan orang tua sekalipun kompak memanggilnya kakak. Reda Gaudiamo, penulis dan seniman yang lahir di Surabaya 61 tahun silam, saat mempersembahkan musikalisasi puisi untuknya, pun merasa perlu memanggilnya kakak.
Di sela kesibukannya mengoordinasi acara FSB di venue yang terpencar berjauhan, dimana sesekali ia juga menjadi pembicara dan pemantik diskusi, Ama bersedia melayani wawancara. Saya mendekatinya. Meminta waktunya 20 menit untuk wawancara. ”Siap,” katanya singkat, diselingi senyum tulusnya. Usai salat jumat, bersama kawan jurnalis sangalu.com, Alisan, kami berdua memberondongnya dengan pertanyaan seputar urgensi sastra bagi sebuah negara, bagaimana politik keberpihakan pemerintah terhadap pembangunan kesusasteraan hingga hasratnya terhadap suku bangsa Babasalan (Banggai, Balantak, Saluan, Andio) yang harus melek sastra.
Kebijakan pemerintah yang pro pertumbuhan terkesan memunggungi kesusasteraan. Anda setuju dengan statemen ini? Ia tersenyum mendengar pertanyaan pembuka ini. Di bagian itu, Ama beberapa kali meminta off the record. ”Saya ngasih backround ya. Tapi jangan ditulis,” katanya diselingi derai tawa. Ia menjelaskan, kali ini mimiknya agak serius. Sastra yang dibincangkan di Festival Sastra Banggai hingga edisi ketujuh, bukan sekadar tentang sastra itu sendiri. Namun di sana ada muatan-muatan penting yang selalu disertakan dalam setiap hajatan tahunan tersebut. Isu yang diangkat dalam setiap edisi FSB, adalah kondisi faktual yang sedang, telah bahkan yang akan dihadapi masyarakat.
Baginya, sastra adalah tentang merekam peristiwa, mencatat pengalaman, menulis apa pun yang ada dalam semua lini kehidupan. Ia mencontohkan, pada perjumpaan kedua atau FSB 2017, mengusung tema, Resonansi Suara-suara yang Memeluk. Ini adalah cara sastra merespons dinamika masyarakat, ketika terjadi pembunuhan warga dimana korban dan pelakunya melibatkan dua etnis berbeda di Kota Luwuk. Pada hari-hari itu, ketika show off aparat negara memenuhi jalanan Kota Luwuk, ia dan teman-teman mengambil bagian yang tak kalah pentingnya untuk mengeratkan kembali relasi kemanusiaan yang terus berjarak. Yaitu, deklarasi damai semua tokoh agama dan etnis yang ada di Banggai.
”Begitu seterusnya,” katanya sambil memperbaiki kerudung bercorak lilac yang menutup kepalanya. Setiap edisi FSB selalu ada isu-isu tertentu yang bertujuan memantik kesadaran, memunculkan kecerdasan kolektif untuk tumbuhnya pengetahuan bagi audiens selama FSB. Misalnya pada FSB sebelumnya, tautan keenam, Mengungkai Acak Menyimpul Padu, narasi besarnya adalah tentang ketahanan pangan. Tema ini mempertemukan Banggai Bersaudara, yang tergabung dalam rumpun Babasalan, pun warga lainnya di wilayah itu. Tapi tema besarnya adalah tentang ketahanan pangan. Tema ini sebagai langkah awal menuju FSB berikutnya tahun 2023. Di Narasi ketujuh, FSB 2023, Mendedah Cuaca Memperpanjang Usia Bumi, sorotan utamanya tentang iklim. ”Ketahanan pangan dan iklim adalah dua hal yang selalu berjalan bersisian,” begitu katanya.
Tema iklim yang menjadi tema besar FSB tahun ini, sengaja dipilih karena dalam amatannya, isu ini tidak menjadi wacana mainstream di tingkat masyarakat terdidik dalam hal ini mahasiswa. ”Lihat saja kemarin. Gak ada orang yang hadir kan,” tanyanya. Ama benar. Salah satu mahasiswa yang mengajukan pertanyaan pada Bupati Banggai Amirudin, yang out of contex semakin memperlihatkan bagaimana isu iklim tidak menjadi isu yang dibiasakan dalam percakapan mahasiswa. ”Saya heran ada mahasiswa, koq masalah iklim dianggap sebagai bingkai dan isu yang tak penting banget,” katanya heran.
Di sesi pembukaan FSB Narasi ketujuh yang berlangsung di pelataran Universitas Muhammadiyah Luwuk, 6 September 2023, Amirudin Tamoreka membawa kuliah umum, tentang Perubahan Iklim di Kabupaten Banggai, antara Harapan dan Tantangan. Tak ada pertanyaan kritis yang berkembang dalam sesi dialog, selain pertanyaan yang oleh beberapa audiens dinilai di luar konteks. Di titik itu Ama merasa perlu membawa isu ikliim dalam FSB Narasi Ketujuh tahun ini.
SASTRA SEBAGAI TRANSFORMASI PENGETAHUAN
Sastra tak hanya boleh dipahami sebagai fungsi rekreatif dan estetis, yang memberikan kesenangan, keindahan atau hiburan bagi pembacanya. Menurut Ketua Puan Seni Indonesia itu, selain fungsi-fungsi normatif itu, sastra mempunyai fungsi moralitas untuk memberikan pengetahuan kepada publik tentang baik dan buruk. Sastra bahkan mampu menembus mata batin untuk menumbuhkan kepekaan sosial. Misalnya, ketika Anda membaca buku karya Pram, maka ada banyak pengetahuan yang didapat di sana. Dan pada saat yang sama hati menjadi kian peka untuk peduli terhadap banyak hal. Peka terhadap kemanusiaan, peka terhadap negara, peka terhadap iklim dan lainnya. ”Itulah yang kami bangun di festival ini. Mendatangkan penulis dari mana-mana untuk berbagi pengetahuan dan menumbuhkan kepekaan kepada warga di sini,” begitu Ama mengulas kenapa sastra menjadi penting dan perlu.
Sejurus kemudian, Ama tampak sigap, saat ditanya bagaimana komitmen pemerintah daerah terhadap pembangunan kesusastraan di daerah ini. ”mmmmh sampai saat ini untuk sastra masih kami yang bekerja,” tone suaranya terdengar meninggi. ”Kami punya kelas sejak tahun kemarin. Kami punya Akademi Sastra Banggai, dengan hanya mengandalkan jejaring,” lagi-lagi dengan tone yang sengaja tinggikan. Lalu ada residensi virtual selama enam bulan dengan mentornya dia sendiri, pegiat literasi Nemu Buku, Neni Muhidin dan penulis asal Bogor yang kini tinggal di Kota Luwuk, Reza Nufa.
Dengan intonasi yang meninggi itu, saya tergoda mengejarnya dengan pertanyaan susulan. Dimana peran negara pada urusan yang sedang dikerjakan ini. Bukankan negara harus mengambil peran sama besar bahkan lebih besar dari yang Anda kerjakan? Ia tak langsung merespons. Ama mengangkat wajahnya. Menatap tatakan huruf kapital berkelir putih bertulis FSB yang berjarak 20-an meter. Sesaat kemudian ia bilang, ”Awalnya saya merasa seperti itu,” ujarnya terus terang. Ia tak menjawab lebih jauh. Ama lalu flasback pada masa kecilnya bersama ayahnya. Selalu minta dibelikan buku apa saja, saat ayahnya kembali bepergian dari luar kota. Kenangannya yang selalu melahap koran milik mendiang ayah pun diceritakan tuntas. Tentang keterlibatannya di emerging writers MIWF (Makassar International Writers Festival) tahun 2014, kegalauannya pada situasi Kota Luwuk yang tak ada kawan berbincang soal kesusasteraan (literariness), termasuk hasratnya membuat festival sastra di kota yang tak satupun mempunyai toko buku itu. Semua ditumpahkannya pada sore menjelang senja itu.
NEGARA HARUS TERLIBAT, JANGAN ABAI
Ia melongok jam tangan yang melingkar manis di pergelangannya. Sebentar lagi, ia kembali disibukan untuk kegiatan malam hari. Saya mengabaikan cerita-cerita memorable itu. Mencoba fokus pada pertanyaan yang tak terjawab. Kali ini agak spesifik. Tentang sejauhmana perhatian pemerintah setempat pada gelaran yang sudah memasuki tahun ketujuh itu. ”Sebenarnya karena ada yang menggaruk-garuk nurani saya. Saya merasa itu (festival), perlu hadir di Luwuk,” jawabnya datar. Ama masih enggan memberi jawaban lugas. Tapi apakah memang negara perlu hadir diurusan beginian? ”haruslah,” jawabnya lantang. Kali ini agak bersemangat.
Tapi karena Pemda abai sehingga Anda menggarap ini? ”ooohhh mmmmhhhh,” responnya dengan senyum tipis. Diberondong lagi dengan pertanyaan yang sama, ia tersenyum lebar, sembari meminta agar jawab-jawabannya off the record. Namun demikian mereka tetap mendapat suport dari berbagai pihak termasuk dari Dirjen Kebudayaan di Kemendikbud ristek. Dari sekitar 14 ribu yang mengajukan, Babasal Mombasa, penyelenggara Festival Sastra Banggai termasuk dari 400-an komunitas dan perseorangan yang berhak mengklaim bantuan tersebut.
Lalu pada tahun ini, Babasal Mombasa kembali digelar dengan bantuan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud ristek melalui Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa. Dalam hal ini Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan Sastra. Dari 1.000 lebih yang mengajukan, hanya 28 komunitas yang mendapatkan bantuan. Dan Babasal Mombasa berada di urutan teratas yang mendapatkan bantuan dana tersebut. Dengan tiadanya perhatian yang memadai, apakah bisa disimpulkan bahwa persoalan sastra masih tidak menjadi perhatian pemerintah? Ia diam. Lalu kemudian menyebut beberapa bantuan berupa pelantang suara dua unit, hampers (bingkisan) dan makan untuk malam penutupan. Saya menyudahi wawancara saat waktu menunjukan pukul 16.34 wita. Saya menggunakan 19.55 menit dari 20 menit waktu yang disepakati. Sesaat kemudian, ia beranjak menyiapkan acara yang berlangsung sesaat lagi.
Saya mengulik keterangan dari beberapa orang di luar Babasal Mombasa. Tentang seberapa besar perhatian pemerintah setempat pada pembangunan kesusasteraan di daerah itu. Tidak ada yang bersedia berkomentar, kecuali jika namanya tak disebut. Berbincang di kawasan kuliner RTH Lalong, 9 September 2023 lalu, Warga di Jalan Mandapar ini bilang, pemerintah Banggai memang tak punya perhatian pada isu-isu seperti itu. Padahal yang dilakukan Babasal Mombasa dengan festival itu, adalah kerja-kerja pemerintah. ”Saya tidak tau apakah Pemkab memberi dukungan acara ini atau tidak. Tapi dari kebijakannya tak terlihat ada yang mengarah ke urusan keusasteraan,” kritiknya. Ia menduga, karena urusan literasi, kebudayaan dan semacamnya bukan sesuatu yang dianggap penting sehingga tak pernah masuk dalam kebijakan daerah,” tambahnya.
SAMPAI JUMPA DIGENGGAMAN KEDELAPAN
Yanti Malale, Pembina Babasal Mombasa, merasa bersyukur Babasal Mombasa berhasil kembali menggelar FSB Narasi Ketujuh tahun ini. ”Kepada tim kerja. Kepada semua tamu dan peserta yang hadir terima kasih semuanya,” katanya. Turun dari panggung ia menyalami satu persatu orang yang ditemuinya.
Ama Gaspar memanfaatkan podium pada malam puncak Festival Sastra Banggai, untuk mengirim pesan hangat kepada para pihak. Para penulis, seniman yang datang dari Jakarta, NTT, Makassar, Ambon, Malang, beberapa diantaranya bahkan datang dengan sukarela.
”Terima kasih kepada teman-teman penulis
kepada kawan-kawan seniman
kepada adik-adik relawan
kepada pemerintah, kepada pelaku UMKM
kepada yang datang dari manapun. Terima kasih,” ucapnya dengan nada bergetar.
”Saya mengucapkan terima kasih banyak kepada mereka yang bersedia hadir di Festival Sastra Banggai.
Festival kecil kami.
Festival yang terus kami rawat.
Festival yang terus kami cintai, dan
Festival yang terus kami pupuk dengan penuh pelukan dan cinta.
Lengan saya tak cukup panjang untuk memeluk semua. Tetapi ungkapan terima kasih ini semoga bisa jadi pelukan untuk kalian semua,” serunya dari atas panggung.
FSB Narasi Ketujuh, Mendedah Cuaca, Memperpanjang Usia Bumi, akhirnya selesai. Lampu panggung meredup, Padam. Pelantang tak lagi memantulkan suara. Teluk Lalong kembali sunyi. Sesunyi langkah kecil Ama Gaspar dan kawan-kawannya, berjuang dalam kesendirian mereka, mempersiapkan Genggaman Kedelapan yang datang sebentar lagi.
Sekilas Tentang Ama
Ama Gaspar merupakan seorang penulis perempuan di Kota Luwuk. Jebolan Fakultas Teknik Universitas Muslim Indonesia, Makassar ini adalah emerging writers MIWF (Makassar International Writers Festival) tahun 2014. Ama juga aktif di Yayasan Babasal Mombasa yang bekerja untuk literasi, pendidikan, dan kebudayaan. Ia dan kawan-kawannya menginisiasi hadirnya Festival Sastra Banggai, acara tahunan di Kabupaten Banggai.
Selain itu, Ama juga menjadi ketua Puan Seni Indonesia, sebuah perkumpulan yang menghimpun pekerja seni perempuan lintas genre di seluruh Indonesia. Ama merupakan penulis buku kumpulan puisi Keterampilan Membaca Laut (2019), Buku Puisinya terbarunya, Lagu Tidur (2022) terbit pada pertengahan tahun lalu. Beberapa puisi Ama dimuat pada Antologi Dari Timur (2017), Dari Timur 3 (2019) dan Kumpulan Esai Puandemik Menulis: Kaleidoskop Kata (2022). Ama juga aktif dalam menjadi penyunting di Penerbit Basabasi sejak tahun 2019. ***
Penulis : Amanda
Foto-foto : Bobasal Mombasa – Uta Andika