Lingkungan

Festival Sastra Banggai Narasi Ketujuh, Ajakan untuk Memperpanjang Usia Bumi

TRIBUTE - Kurator FSB 2023, Neni Muhidin membacakan sinopsis perjalanan hidup Lily Yulianti Farid - penulis Indonesia, asal Makassar pada FSB Narasi Ketujuh, 7 September 2023

MENDEDAH Cuaca Memperpanjang Usia Bumi.
Tema sentral ini dipilih sebagai bentuk kesadaran akan eksistensi mayapada yang terus memburuk karena perilaku ugal-ugalan homo sapiens bernama manusia yang mengklaim sebagai mahluk tercerdas di muka bumi. Tercatat 23 agenda yang berlangsung mulai 6 – 9 September 2023. Menampilkan 14 pembicara dari seantero negeri mulai dari Jakarta, Malang, Ambon, Ruteng-NTT, Makassar dan Palu serta pembicara lokal di Kota Luwuk. Para pembicara mulai dari seniman, novelis, penyair, aktivis CSO, tokoh pemerintah dan jurnalis. Agenda 4 hari itu berlangsung di sejumlah tempat, mulai dari Unismuh Luwuk, Untika, SMAN 1 dan SMAN 3 Luwuk serta RTH Teluk Lalong sebagai venue utama festival. Dari 24 tema yang dibahas, enam diantaranya tentang iklim. Termasuk peluncuran novel bertema kebencanaan oleh penulis perempuan asal Banggai Kepulauan, Ikerniaty Sandili, semakin menyempurnakan tema iklim FSB tahun ini.

Sesuai temanya, selama hajatan narasi tentang alam dan iklim terasa sangat dominan. Hari pertama, peserta langsung disuguhi dengan diskusi perubahan iklim yang berlangsung di gedung Unismuh Luwuk. Disusul sejam berikutnya, Bupati Banggai Amirudin Tamoreka, berbicara di depan mahasiswa tentang adaptasi perubahan iklim di Kabupaten Banggai antara harapan dan tantangan. Walau tidak merinci kebijakan Pemerintah Banggai terkait perubahan iklim, namun suksesor Herwin Yatim itu tetap mengaku berkomitmen dalam pembangunan berkelanjutan.

Ama Gaspar Direktur Festival Sastra Banggai di forum itu, mengakui persoalan cuaca perlu mendapat perhatian tak sekadar dibahas di forum-forum diskusi. Melainkan dicarikan jalan keluarnya melalui tindakan konkret. ”Di Narasi Ketujuh Festival Sastra Banggai kami merasa perlu mengangkat tema ini sebagai isu utama. Kami merasa ini isu yang mendesak untuk kita cari jalan keluarnya bersama,” ungkap perempuan ramah ini.

Ama bilang, mereka memutuskan memilih isu perubahan iklim karena gelisah akan dampak nyata perubahan iklim yang dirasakan hampir di seluruh belahan bumi. Ia meyakini, literasi dan sastra adalah medium yang mampu membahasakan perubahan iklim melalui gagasan, serta penting untuk diperbincangkan terus-menerus dan disebarluaskan. Karya sastra menurut dia, berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari. Karena sastra adalah refleksi kehidupan yang dituangkan melalui media, tulisan maupun ucapan.

LITERASI KEBENCANAAN – AS Rosyid penulis dan Pendiri Ecoliterasi didampingi penulis Reza Nufa menjadi pembicara di diskusi Agama dan Mitigas Bencana, Jumat 8 September 2023

Memasuki hari kedua festival, tema tentang iklim dan alam masih menjadi tema sentral. Bertempat di Unismuh Luwuk, jejak karbon manusia serta warisannya untuk generasi nanti, menjadi topik serius.
Peserta diajak melakukan refleksi tentang lagak manusia kekinian yang entah sadar dan tidak, sedang terjerat dalam kapitalisme fosil. Penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil, televisi, penggunaan penyejuk ruangan (AC), yang menghasilkan gas emisi, menjadi isu yang menyita perhatian selama 90 menit yang kemudian keterusan hingga suara tahrim memantul dari menara masjid. Berbagai pertanyaan retoris mengemuka dalam forum diskusi ini. Termasuk pembakaran hutan oleh peladang berpindah dan korporasi juga disorot secara kritis oleh Mohamad Pahlawan pembicara dari Burung Indonesia.

Melengkapi tema soal iklim ini , festival edisi ketujuh ini menghadirkan Makhfud Iwan. Dia adalah pemenang pertama Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014 yang membahas perspektif seni atas manusia dan alam. Dilanjutkan oleh AS Rosyid penulis buku Melawan Napsu Perusak Bumi asal NTB, menjadi pembicara didisuksi tentang agama dan mitigasi bencana. Didampingi Reza Nufa sebagai pemantik diskusi, Rosyid mengingatkan tentang pentingnya keariban lokal dipercakapkan dan dibiasakan dalam hidup keseharian sebagai cara untuk memitigasi bencana. Teks ekologi dalam kita suci ungkap pegiat ekoliterasi di NTB ini, tidak spesifik menyeru pada manusia tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh manusia. ”Adanya di agama-agama dan kepercayaan lokal,” katanya. Tapi harus diakui, spirit keagamaan ikut mendorong manusia menjaga alam.

Tema tentang iklim dipungkasi dengan hadirnya Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banggai Ferdy Salamat, menyoal tentang kemungkinan net zero karbon pada tahun 2050 nanti. Sejumlah negara menetapkan pada 2050 sebagai nol emisi karbon. Untuk konteks Indonesia dengan konsep pembangunan yang menganut madzhab pro pertumbuhan, sepertinya masih jauh. Madzhab ini salah satu cirinya adalah gemar mengekstrak lingkungan demi mengejar pertumbuhan. Diskusi yang dimoderasi oleh Neni Muhidin dari Nemu Buku Palu, menguatkan kesimpulan ini.

KELAS MENULIS – Seniman dan penulis, Reda Gaudiamo mengajak pelajar berdiskusi saat berlangsung sesi kelas menulis di Luwuk

Simpulan diskusi di hari terakhir itu menyebut, aksi yang harusnya segera dilaksanakan pemerintah khususnya korporasi tambang dan industri otomotif malah menganggap masalah netral karbon sekadar wacana. Negara juga sebut Neni Muhidin terlihat enteng menanggapi problem yang mendesak ini. ”Jadi tidak bisa terlalu berharap inisitaif nol karbon datang dari negara,” simpul penulis buku Mojagai Tobui ini.

Namun hajatan yang berlangsung empat hari itu bukannya tanpa kritik. Imran Manusala (41) pria asal Taliabo mengaku menyempatkan diri dua kali hadir di RTH Teluk Lalong untuk melihat kemeriahan festival sastra tersebut. Ia juga mengabadikan suasana festival dengan mengajak kawannya berfoto di booth (stand). Tergoda dengan tema iklim yang diangkat pada festival, ia berkeliling arena festival. Ia mengeritik komitmen panitia yang tidak berusaha menghadirkan suasana festival sesuai dengan narasi tema yang diangkat. Khususnya kampanye plastik sekali pakai. Setidaknya ada water station berupa galon yang disiapkan panitia disegala sudut taman. Pengunjung datang mengisi wadah tumbler yang dibawah dari rumahnya. ”Itu kalau mau konsisten dengan tema,” ungkap pegawai swasta di Bangkep yang datang liburan di Kota Luwuk ini. ***

Penulis: Amanda
Foto-foto: Bobasal Mombasa – Uta Andika

 

 

 

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan