Sosok

FSB di Mata Relawan. Nilai dan Visi Perjuangannya Membuat Saya Betah di Sana

JADI MC - Ridha Risma Yunita bersama Muhamad Alif Fakar Rizaldi, saat menjadi MC pada malam kedua FSB Narasi Ketujuh di RTH Teluk Lalong, 7 September 2023.

 

”Saya sayang dengan teman-teman di FSB. Kak Ama, Ka Tiwi, Ka Yanti dan Ka Rahmat. Juga teman-teman sesama relawan lainnya. Selalu ada kerinduan setiap FSB selesai. Kak Ama selalu bilang, kerja-kerja literasi adalah jalan sunyi. Makanya saya selalu ingin bersama mereka. Meniti di jalan sunyi itu,”

KUTIPAN di atas, adalah ungkapan seorang relawan. Ungkapan tulus dari hati yang bening. Bahwa, FSB tak semata soal keriangan. Apa lagi selingan untuk sekadar menepi dari rutinitas yang menjemukan. FSB dan orang-orang di dalamnya, adalah tentang kegairahan. Tentang semangat. Tentang ikhtiar mencapai visi yang menjadi tujuan bersama yang terbingkai dalam hubungan yang solid dan kokoh.

Pada malam terakhir, seusai Direktur Festival Sastra Banggai, Ama Gaspar dan Yanti Navarita Madale, Festival Advisor, turun dari panggung yang menandai usainya hajatan 4 hari itu, saya mengamati pergerakan orang-orang di venue utama. Selain sibuk foto bersama, mereka larut dalam ekspresi beragam rupa. Sukses pelaksanaan tak hanya diekspresikan dengan wajah yang semringah. Mata sembab dan pelukan hangat di tengah bebunyian yang diproduksi dari synthesizer dan program komputer (EDM) pada malam pamungkas itu, menandai bahwa mereka telah menyelesaikan satu fase penting dalam perjalanan panjang menghadirkan literasi di Bumi Babasalan. Di antara puluhan relawan yang berseliweran, seorang gadis dengan outfit kekinian menyempil di antara orang-orang itu. Gerakannya gesit. Padu padan kostumnya tampak matching. Sepatu, tas, busana atas bawah hingga jilbab tampak serasi. Kata-katanya selalu terukur. Setidaknya, selama beberapa kali berbicara dengannya.

Saya menyeruak di kerumunan orang menanyakan namanya. ”Ridha,” sahutnya pendek. Belakangan saya tahu namanya, Ridha Risma Yunita. Di desanya, Uso yang berjarak 38,5 km dari Kota Luwuk, ia dipanggil Riri. Akronim dari Ridha Risma. Ridha anak semata wayang. Ia bekerja sebagai operator komputer sistem informasi desa di kampungnya. Keterlibatannya sebagai relawan di FSB menurut dia adalah pengalaman hidup yang sangat disyukurinya. Setidaknya, sampai saat ini ia masih berhasrat untuk terus bergabung dalam ajang tahunan tersebut.

Ia terus nyerocos menceritakan keterlibatannya di FSB hingga di edisi Narasi Ketujuh tahun ini. Keterlibatannya di festival besutan Ama Gaspar itu, dimulai pada 2018. Kala itu, temanya Resonansi Suara-suara yang Memeluk. Kenal FSB pun dari kawannya, pengurus di Babasal Mombasa, yayasan yang menyelenggarakan Festival Sastra Banggai. Di antara 31 yang melamar, ia termasuk salah satunya yang dinyatakan lolos. Setelah dikenalkan visi FSB, cara kerja dan wawancara, sejak saat itu ia terdaftar resmi sebagai relawan.

Tahun ini, ia sudah lima kali ia terlibat langsung. Termasuk FSB tahun 2020 yang dilaksanakan secara virtual. ”Dari kampung saya coba ikut sebisanya, karena jaringan tidak bagus. Tapi tidak apa-apa. Ini agenda yang paling ditunggu,” katanya. Gadis yang telah melahap sedikitnya 11 novel dan cerpen di antaranya, Catatan Seorang Demonstran – Soe Hok Gie, Lagu Tidur – Ama Gaspar dan Muslimah yang Diperdebatkan – Kalis Mardiasih hingga Waktu untuk Tidak Menikah yang ditulis Amanatia Junda. Bahkan buku ”berat” sekelas Homo Deus-nya Yuval Noah Harari dilibasnya dengan enteng.

Awal ketertarikannya dengan FSB sekira tahun 2018. Saat itu datang sebagai pengunjung untuk melihat kemeriahan. Berkeliling ke aneka stand. Menyimak para pembicara. Mengamati aneka topik diskusi serta merasakan kegairahan para pegiatnya. Termasuk menyaksikan kemasan hingga tema diskusi yang berbeda dengan hajatan seminar di kampus yang garing tak punya rasa. Semua itu membawanya pada atmosfer dan pengalaman baru. ”Saya liat ada, Resonansi, Suara-suara yang Memeluk. Ini maksudnya apa. Dinamika diskusi juga hidup dan pematerinya keren. Tampil kasual tapi bobot bicaranya juga oke. Dari situ saya jadi kepo sama FSB dan Babasal Mombasa,” katanya. Tahun berikutnya, ia mendaftar jadi

SIBUK – Ridha Risma Yunita tampak sibuk selama helatan FSB, yang berlangsung 6 – 9 September 2023 di Kota Luwuk.

Ia ingat pekerjaan pertama yang dilakukannya pada 2019 adalah mencuci gelas, mengangkut sampah dan urusan konsumsi untuk tamu. Pada 2019 – 2021 di Id Card, masih tertulis Volunteer. Setahun berikutnya, 2022 dan 2023 berganti menjadi kru dan tim produksi. Di FSB 2023, lagi-lagi ia kebagian di bagian produksi. ”Kerjanya di depan laptop. Membantu Ka Tia, Ka Tiwi, Raihan dan Kak Ama. Mengurusi surat, mengedit flyer dan mengunggah ke google drive. Termasuk mengedit ToR dari mentahannya dan lainnya. Semua yang ada di postingan akun IG FSB itulah hasil kerja saya. Walau kadang typo dan harus di take down,” ulasnya panjang lebar. Tahun lalu pada FSB 2022, ia menjadi pemantik di kelasnya Eko Saputra Poceratu. Sedangkan di edisi 2023 ia dipercaya menjadi pemantik di kelas Akademi Sastra Banggai.

Jebolan Jurusan Komunikasi Unismuh Luwuk ini, menjelaskan banyak hal kenapa harus menceburkan diri di festival ini. Ia ingin memperluas pengetahuan yang tidak sekadar organisasi internal kampus atau urusan paguyuban. Temannya juga itu-itu saja. FSB menawarkan atmosfir baru. Teman baru. Tempat belajar yang baru. Membahas hal-hal yang sebenarnya bukan baru tapi dengan pendekatan baru. Kelak, di kemudian hari, hal-hal baru yang didapatkannya di FSB memberi dampak baik pada perkuliahannya. Bahkan berguna saat ia menjadi bagian dalam masyarakat di desanya.

Ia melanjutkan, di FSB seperti lumbung ilmu. Distribusi pengetahuan terus berjalan. Setiap edisi selalu dipertemukan dengan orang berbeda. Pengetahuan dan pengalaman berbeda. Membuat cakrawala pandang semakin luas. Bahkan di FSB lah, ia mengenal sastra yang sebenarnya. ”Alasan lainnya, karena saya sayang dengan teman-teman di FSB Kak Ama, Ka Tiwi, Ka Yanti dan Ka Rahmat. Teman-teman sesama relawan lainnya. Selalu ada kerinduan setiap FSB selesai,” ungkapnya terus terang.

Literasi sebagai jalan sunyi. Begitu Ama Gaspar selalu mengatakan kepada Riri dan kawan-kawannya. Baginya, itu menjadi semacam mantra yang membuatnya betah menapak jalan sunyi itu. ”Saya memaknai kata-kata Kak Ama, menapak jalan sunyi adalah ajakan untuk menapak bersama agar kerja-kerja literasi yang sunyi itu mampu memberi sesuatu yang berarti bagi publik,” katanya filosofis.

Basis kerelawanan yang dijalaninya di FSB menurut dia, adalah kerja-kerja tak berpamrih. Mereka yang terpanggil di sana bukan semata ikut ramai. Atau pelarian karena galau ditolak gebetan. Pun bukan untuk membunuh waktu dari kebosanan rutinitas yang tak berujung. Ia berada di sana, karena berangkat dari kesadaran bahwa sastra dan kesusasteraan membutuhkan kerja simultan yang panjang, dari orang-orang yang mau menjadikan dirinya bekerja di jalan senyap ini. Saya tercenung mendengar ”khotbah” gadis muda ini. Saya seolah tak percaya kalimat penuh magis itu keluar dari mulutnya. Pengalaman lima edisi menjadi relawan FSB membawa ia pada kesadaran yang membuatnya fasih mengeluarkan kalimat penuh makna. ”Jika ditanya apa yang saya sesalkan dari FSB, karena saya tidak bisa mengikuti kelas diskusi. Sebagai relawan saya harus mengerjakan hal-hal teknis,” katanya. Kali ini wajahnya tak lagi serius.

Riri membagi hobinya dalam dua bagian. Secara maknawi maupun hobi yang tentatif. Jika hobi yang dimaksud sesuai makna KBBI, maka ia lebih senang ke pantai menyaksikan laut biru. Namun jika hobi yang tergantung mood, ia punya beberapa daftarnya. Hobi membaca, hobi dengar musik. Dan satu lagi, hobi scroll socmed. Menggibah tidak termasuk? ”oh tidak, tidak,” ia ngakak mendengar pertanyaan itu.

Berkaitan dengan pekerjaannya di Desa Uso, ia berusaha menyeimbangkan antara keduanya. Ia sudah berhitung, menjelang helatan festival, semua pekerjaan kantor harus rampung. Jika tak selesai di kantor, akan diselesaikan di rumah. Dari pengalaman lima tahun terlibat secara intens di Festival Sastra Banggai, antara urusan kantor dan kerja-kerja relawan bisa diselesaikannya dengan baik. Tidak ada benturan pada dua hal itu. Atasannya di kantor memberi kelonggaran. Permohonan cuti yang diajukannya plus surat cuti yang diajukan panitia FSB disetujui dengan cepat oleh kantornya. Begitulah caranya hingga ia selalu hadir di FSB selama lima edisi berturut-turut.

RELAWAN – Di sela kesibukan menyiapkan kebutuhan festival, relawan menyempatkan mengabadikan momen di arena FSB, RTH Teluk Lalong, Luwuk.

FSB Narasi Ketujuh yang berlangsung 6 – 9 September 2023, berakhir sukses. Tak hanya sukses dari sisi penyelenggaraan. Tapi juga sukses mengangkat eksistensi sastra yang datang untuk menghaluskan banalitas sosial akibat perilaku elit tengil yang nirempati. Di balik gegap gempita, tepuk tangan dan citra positif yang dituai FSB, ada orang-orang yang rela kehilangan waktunya. Mereka rela meninggalkan pacar. Meninggalkan calon pacar. Meninggalkan calon mertua. Meninggalkan rumah hingga meninggalkan ayam jago dan kucing anggora yang supermanja di rumah.

Mereka mengonsolidasi orang-orang pada 23 kegiatan diskusi di lima titik berbeda. Dengan jarak yang berjauhan serta panas yang membuat kepala pening. Mereka mengatur venue. Menata kursi. Memastikan pasokan air minum dan makanan tersedia tepat waktu. Hingga memerhatikan detail-detail kecil. Mereka gesit. Mereka tak mengendurkan semangatnya. Suksesnya festival tak terlepas dari dedikasi anak-anak muda ini. Mereka adalah relawan. Dari panggung megah FSB Narasi Ketujuh, Ama Gaspar beberapa kali mengucapkan terima kasih pada semangat yang mereka tunjukan.

Tapi seperti yang dikemukakan Ridha Risma Yunita alias Ridha alis Riri, tak mengapa ia meninggalkan boneka lucu yang tergolek sunyi di ranjangnya di sana di Desa Uso. Karena semua itu sebanding dengan pengalaman dan nilai-nilai yang mereka didapatkan selama festival. ”Keramahan orang-orangnya, visi yang diperjuangkan. Suasana kerja, hingga bertemu dengan penulis-penulis favorit, itu semua amat menggoda untuk betah bertahan di sana,” tutupnya. ***

Penulis       : Amanda
Foto-foto : Babasal Mombasa/Uta Andika

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan