Seni Budaya

Mampasimbaju, Merawat Legasi Pitarah di Tengah Gempuran Masa

MENULIS SEJARAH YANG TERCECER - Menulis, membincangkan dan membiasakan kembali tradisi yang nyaris tiada. Dodoha, Tentena 10 November 2022

PAGI hari. Di hari kesepuluh November 2022. Di Dodoha. Di Tepi Danau Poso, angin bertiup perlahan. Seorang perempuan sepuh berjalan gontai. Seketika tangannya sigap memegang tali ndatu’u yang melilit kepalanya. Ikat kepala berkelir merah itu, nyaris lepas diterpa angin pagi. Ia berhenti sesaat. Pandangannya menyapu ruangan yang didominasi perabotan bambu dan rotan itu. Sesaat kemudian ia menuju kursi di baris kedua dari belakang. Mengibas dedebuan yang melekat, lalu duduk tenang di sana. Dia adalah Syamsiah Tinumbu (60). Tokoh adat perempuan asal Desa Tokorondo, Poso Pesisir. Tak lama berselang, sejawatnya para tokoh sepuh dengan busana kebesaran berkelir kuning, merah dan keemasan memadati ruangan di Dodoha, Mosintuwu Institut di Jalan Yosi Kecamatan Pamona Puselemba.

Hari itu, para tetua adat dari belasan desa di Kabupaten Poso berkumpul. Mereka datang karena diliputi kegelisahan dan kecemasan. Gelisah karena tradisi yang terancam hilang digerus waktu. Cemas karena generasi kini tak mau peduli akan warisan pendahulu mereka. Dipertemukan oleh kepentingan yang sama, jadilah para tetua adat berkumpul membicarakan bagaimana tatanan hidup di Tana Poso tempo dulu, dibicarakan kembali dan dibiasakan dalam kehidupan keseharian.

Bertajuk Mampasimbaju Ada Ngkatuwu nTana Poso, suasana pertemuan itu berlangsung gayeng. Diselingi tawa renyah namun sebenarnya mereka sedang membincang problem serius terkait Ada ngkatuwu nTana Poso. Dua puluh menit pertama dihabiskan untuk sesi mombesudu kayori (berbalas pantun). Menyaksikan keasyikan dan kegairahan mereka bercakap-cakap dengan intonasi dan artikulasi yang jernih dan fasih, seolah para tetua ini menemukan kembali dunianya yang telah lama hilang.

SERIUS – Duduk berjam-jam tak membuyarkan mereka pada ingatan akan tradisi yang nyaris hilang, Dodoha, Tentena 10 November 2022

Melihat keasyikan itu, fasilitator diskusi Lian Gogali, setengah membungkuk meminta agar sesi mombesudu kayori disetop sementara. ”Mohon maaf untuk sesi ini kita tunda sebentar dulu. Kita ada beberapa sesi penting yang kita diskusikan lagi,” ungkap Lian sambil mengatupkan telapak tangannya ke dada. Tak banyak yang bisa diketahui dari percakapan di 20 menit pertama itu. Mereka menggunakan bahasa Pamona. Bahkan, sejak diskusi dimulai pagi hari hingga berakhir pukul 20.15, bahasa Pamona sangat dominan digunakan para tetua adat ini.

Para pemuka adat berdiskusi dalam lima kelompok sesuai tema yang dibahas. Diskusi kelompok untuk menggali kembali tradisi kearifan Tana Poso, yang pernah dilakukan terdahulu. Kemudian dievaluasi lagi untuk mengidentifikasi tradisi apa saja yang bisa dipertahankan. Termasuk langkah apa yang harus dilakukan agar tradisi tersebut bisa dihidupkan.

Lima tema utama yang akan dibahas tiap kelompok antara lain, Ada Mporongo, diskusi kelompok ini dipimpin oleh Ngkai Lintu Bintiri (84), asal Desa Panjo Kecamatan Pamona Selatan. Berikutnya diskusi Ada Mpojamaa dipimpin oleh Ngkai Modjanggo. Sedangkan diskusi kelompok Ada Mpoagama, dipimpin Hajai Ancura (56). Lalu diskusi lainnya Ada Mpombetirinai dipimpin Sigilipu dan kelompok Ada Potaumate dipimpin Ngkai Sumboli. Kelima tradisi ini, menurut Lian, adalah kearifan lokal di Tana Poso tentang kehidupan antarmanusia dengan alam (tanah, air dan hutan). Sekali lagi, tak banyak yang bisa diketahui tentang substansi yang dibahas para tokoh kharismatik ini. Semuanya menggunakan bahasa Pamona.

Dalam diskusi kelompok tersebut, berhasil mengungkap beberapa tradisi yang tidak lagi dilakukan oleh generasi gadget saat ini. Hal ini diungkap tokoh adat Yonggulemba Sumboli (77) asal Desa Masani Kecamatan Poso Pesisir. Yaitu tradisi perlakuan jenazah. Pengawetan jenazah tempo dulu tidak menggunakan formalin. Namun menggunakan bahan yang diambil dari alam. Pun demikian halnya, tradisi mengusir hama yang tidak menggunakan pestisida seperti pada pertanian modern. ”Cukup menggunakan bahan alam lalu diformulasi dengan bahan lain, bisa digunakan mengusir hama,” ungkap Hajai Ancura.

Tidak ada simpulan diskusi yang berlangsung nyaris 12 jam itu. Maka disepakati harus ada pertemuan secara berkala di setiap desa, untuk menindaklanjuti hasil diskusi ini. Lian Gogali mengaku akan pasang badan, demi suksesnya diskusi berkala itu. Mosintuwu Institut bersedia menjadi fasilitatornya pada diskusi disetiap desa. Disepakati pula pertemuan pertama akan digelar Maret 2023 nanti. ”Kami dari Mosintuwu Institut akan sangat berterima kasih, kalo para tua-tua sekalian bisa hadir nanti pada pertemuan lanjutan,” ungkap Lian dengan intonasi yang terukur.

SERIUS DAN SANTAI – Di sela-sela mengingat, berbincang dan mencatat mereka tak kehilangan gairah dan humor saling menghibur satu sama lain. Dodoha, Tentena 10 November 2022

Fasilitator diskusi Pendeta Yuri Wombu, menjelaskan lima isu yang dibahas. Pertama soal relasi manusia dengan alam. Kemudian tradisi pertanian serta relasi kemanusiaan (egalitarianisme) dan tradisi keagamaan. Terakhir tradisi kematian. ”Dulunya lima hal ini pernah ada di Tana Poso,” kata tokoh APDP ini. Lian juga bilang, diskusi ini untuk menemukenali tradisi Suku Pamona yang nyaris hilang untuk diwariskan kepada generasi hari ini. Caranya tak hanya sekadar dituturkan. Tapi bagaimana tradisi-tradisi itu dijaga dan dibiasakan dalam perilaku sehari-hari. ”Tradisi ini tidak sekadar dibahas dalam diskusi seperti ini. Kita dengan sengaja harus membiasakan tradisi yang masih relevan di masyarakat untuk dibasakan lagi,” katanya. Dengan demikian, ini bisa menjadi kritik yang sangat serius pada upaya eksplotasi alam di Tana Poso. Misalnya soal air. Para pemuka adat ini mempunyai tradisi terhadap air. Warisan tentang cara orang tua terdahulu memberlakukan air, kini tidak lagi diceritakan. Akhirnya banyak yang lupa.

Pendeta Yuri Wombu, menambahkan hasil rumusan ini setidaknya perlu mendapatkan kekuatan payung hukum semacam peraturan daerah. Kekuatan hukum ini mempunyai daya paksa, sehingga penerapannya bisa efektif. Namun Lian Gogali merasa kurang sreg dengan penerapan adat menggunakan pendekatan Perda. Menurut dia, dengan diperdakan tidak memberi jaminan tradisi itu akan menjadi familiar di masyarakat. Baginya, proses diskusi yang sedang berlangsung sebenarnya untuk menggali tradisi yang telah bergeser dan hilang. Setelah berhasil diidentifikasi, kemudian secara sengaja harus dibiasakan dalam kehidupan. ”Nah proses membiasakan kembali ini yang harus digerakkan bersama-sama,” ungkapnya.

TOTALITAS PARA TOKOH SEPUH

Nyaris duabelas jam para tokoh sepuh itu tak beranjak dari tempatnya. Belasan kursi yang disediakan semua tetap diduduki oleh orang yang sama. Tidak ada yang selonjoran. Tidak ada bersenda gurau dengan kolega di sebelahnya. Tidak ada yang berpaling utak-atik smartphone. Beberapa di antaranya, tampak membawa gawai yang terselip di sakunya. Martina Labatu (60) tetua adat pensiunan ASN di Kemendikbud Poso, terpantau sesekali memantau layar telepon genggamnya. Ia hanya melihat sebentar lalu kembali lagi pada diskusi kelompok. Mereka tetap fokus. Menggali. Mendiskusikannya. Hingga mencatatnya.

FASILITATOR – Lian Gogali (kiri) dan Ade Iin Hokey (kanan) berbincang tentang dukungan kelancaran diskusi para pemuka adat. Dodoha, Tentena 10 November 2022

Ngkai Lintu Bintiri (84) asal Desa Panjo Kecamatan Pamona Selatan, adalah peserta tertua. Dalam usia yang nyaris seabad, semangatnya tak jua kendur. Yonggulemba Sumboli usia 77 tahun pun sama. Dalam balutan baju adat kuning keemasan, disisa waktu dipengujung acara, ia masih unjuk tangan. Menyumbang sumbang pendapat soal perlakuan jenazah. Intonasinya masih terjaga. Artikulasinya pun sangat jelas. Sama baiknya seperti saat ia berbicara pada pagi harinya. Begitulah para tetua ini. Dengan kearifan di atas rata-rata, menempatkan budaya dan kebudayaan sebagai aras tertinggi di forum sehari itu. Kedatangan mereka di forum Mampasimbaju Ada Ngkatuwu nTana Poso, tak semata karena tanggungjawab sejarah yang berada di pundak mereka. Tapi juga kegelisahan, kecemasan akan hilangnya legasi pitarah yang harus mereka jaga dengan susah payah hingga diujung usia. ***

Penulis: Amanda
Foto-foto: Ray Rarea

 

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: