Bencana 2018

Melihat Mamboro Dari Kacamata Ahli Geologi Belanda, Abendanon

PANTAI MAMBORO - Wilayah Mamboro yang kini berada di wilayah Kecamatan Palu Utara, telah lama menjadi perhatian para ahli

WILAYAH Mamboro yang kini berada di wilayah Kecamatan Palu Utara, ternyata telah lama menjadi perhatian para ahli, khususnya ahli geologi dan geografi.

Salah satunya, ahli geologi Belanda, E. C. Abendanon. Ia meneliti ke Sulawesi Tengah pada tahun 1909 hingga 1910. Hasil penelitiannya itu menjadi buku berjudul Midden-Celebes-Expeditie : Geologische en Geographische Doorkruisingen van Midden-Celebes (1909-1910) atau Ekspedisi Sulawesi Tengah: Persilangan Geologi dan Geografi di Sulawesi Tengah (1909-1910).

Dalam buku yang terbit tahun 1915 ini, Abendanon menjelaskan proses awal penelitiannya. Untuk memetakan Teluk Palu, dia mengukur Palu ke Mamboro dan dari Palu ke Donggala. Hasil penelitiannya cukup mengejutkan. Garis pantai ternyata lebih ke arah selatan daripada sekarang. Kawasan dataran rendah di utara Donggala dan aktivitas dari Sungai Palu saat itu, memberikan dampak mundurnya garis pantai ke arah selatan.

Ia memperkirakan, jarak mundurnya garis pantai ini mencapai sekitar 100 depa atau 182,88 meter. Indikasinya, di Dolo ada air tanah yang payau di kedalaman 2 meter. Selain itu di dataran antara Palu dan Mamboro, ada potongan batu kapur atau batu gamping yang merupakan batuan lautan.

Selain itu, Abendanon juga mengamati depresi yang terjadi di pinggiran timur Teluk Palu. Depresi itu akibat aktivitas sesar Fossa Sarasina atau yang dikenal dengan sesar Palu-Koro. Ini menjadikan kawasan di bawah (pesisir) Mamboro daerahnya sedikit lebih rendah, dengan ketinggian air tepat di bawah permukaan.

Hal ini menyebabkan tingginya tingkat kelembaban tanah yang membuat wilayah itu lebih subur. Dirinya bahkan mengibaratkan Mamboro seolah-olah terletak di sebuah oasis sawah basah dan kebun kelapa.

Adapun di kawasan utara Mamboro memiliki ketinggian 3-4 meter dari pantai. Keadaan tanahnya berporix yang terdiri dari blok-blok besar granit dan gneiss hingga ½ m³, dengan keadaan kering dan steril. Dataran tetap lebar seluas 3 ¾ km sampai ke kawasan Timur.

Kemudian, Abendanon menjelaskan, bukit yang terletak sedikit ke tenggara Palu di timur Mamboro, memiliki karakter yang kering dan padang pasir.

Bagian utaranya terdiri dari beton polos, yang berkembang terutama di sebelah timur Palu dan Mamboro, di kawasan perbukitan yang berhutan.

Kemudian, di antara garis patahan dan garis pantai, dataran rendah dari Mamboro ke wilayah Utara bertambah lebar. Abendanon menjelaskan, fakta bahwa kerak Bumi bagian atas Sulawesi, yang terdiri terutama dari blok dan pecahan yang terus bergerak, tidak mengherankan.

Berdasarkan pengamatannya, hanya dalam beberapa tahun terakhir (1900-an awal), fenomena seismologis Sulawesi Tengah dapat dipublikasikan. Tidak banyak data yang terlestarikan tentang gempa bumi di wilayah Sulawesi Tengah.

Dia menemukan cerita bahwa sekitar periode 1870-an hingga 1880-an, ada gelombang pasang di Teluk Paloe —di sekitar Lero dan Mamboro, dengan ketinggian beberapa meter. Gelombang ini menurut cerita tersebut, terjadi akibat penurunan muka tanah di Teluk Palu, yang mengakibatkan gelombang air laut tiba-tiba dari Selat Makassar.

Cerita serupa muncul dari De Heeren de Vogel dan Dibbetz, seorang pejabat urusan pertanian, yang menceritakan kepada Abendanon, kisah-kisah menarik tentang gempa bumi di Donggala.
Menurut mereka, berdasarkan laporan dari penduduk desa, terjadi banjir 40 – 50 tahun yang lalu di Palu, Mamboro dan Lero. Tinggi gelombang sekitar 7 meter, sedangkan di wilayah Donggala sekitar 4 meter.

Banjir tersebut juga diwarnai penyemprotan air tanah berwarna hitam yang disebabkan oleh penurunan tanah. Apa yang ditulis Abendanon di periode 1870-an hingga 1880-an di Teluk Palu tersebut mirip dengan apa yang terjadi pada 28 September 2018, yakni penurunan muka tanah menyebab tsunami.
Ini membuktikan, bencana tsunami akibat longsor di Teluk Palu, bukan baru pertama kali terjadi.***

Penulis: Jefrianto
Foto: Basri Marzuki
Editor: Ika Ningtyas

artikel ini adalah republikasi dari laman medsos kabarsultengbangkit yang diinisasi AJI bekerjasama dengan Internews untuk bencana 2018

 

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: