LEBATNYA hutan mangrove Gonenggati menyambut saya ketika memasuki Kelurahan Kabonga Besar, Kabupaten Donggala. Keteduhan hutan segera menyejukkan tubuh, setelah menempuh hampir satu jam perjalanan dari Kota Palu di bawah terik sang surya.
Batang-batang mangrove tumbuh rapat setinggi lebih dari lima meter dengan akar-akarnya yang menghujam kuat. Menjadi rumah yang nyaman bagi udang, kepiting dan burung-burung pantai.
Saya mengunjungi hutan mangrove itu di Sabtu siang pekan kedua Desember. Hutan mangrove Gonenggati membentang sepanjang tiga kilometer di pesisir Teluk Palu, menjadi pagar alami yang memisahkan kawasan laut dengan daratan di Kabonga.
Ada enam spesies mangrove yang tumbuh alami sejak puluhan tahun di hutan Gonenggati: Rhizophora apiculata, Avicennia Lanata, Nypa Fruticana, Rhizophora Mucronata, Rhizophora Stylosa dan Sonneratia Alba.
Hutan seluas 10 hektar ini bisa disebut hutan mangrove terluas dan terapat di Teluk Palu. Sebab sebagian besar kawasan pesisir di Teluk Palu telah beralih fungsi menjadi pemukiman, hotel, warung makanan dan pelabuhan.
Sejatinya hutan ini tetap terjaga berkat kehadiran Kelompok Tani Hutan Gonenggati Jaya. Kelompok ini awalnya beranggotakan 15 orang, gabungan dari warga setempat yang sebagian besar adalah nelayan.
Ketua KTH Gonenggati Jaya, Yuryanto, mengatakan, kelompoknya terbentuk setelah melihat hutan mangrove di wilayahnya terancam. Dulunya banyak orang menebang mangrove untuk berburu cacing dan kayunya dipakai untuk bahan bangunan.
Padahal, kehadiran mangrove itu cukup penting bagi nelayan sekitar sebagai tempat pemijahan ikan, udang dan kepiting. “Dulu hutan mangrove lebih luas daripada sekarang,” kata Yuryanto.
Salah satu upaya kelompok adalah melarang penebangan. Untuk memulihkan ekosistem, mereka melakukan pembibitan mangrove secara swadaya dengan memanfaatkan biji yang telah matang.
Setelah tumbuh sekitar dua bulan, bibit itu mereka tanam di lahan-lahan yang mangrovenya telah rusak atau gundul. Yuryanto menyebut sudah ribuan bibit yang mereka hasilkan dan tanam di pesisir Kabonga Besar.
Tak ingin penebangan terjadi lagi, KTH Gonenggati kemudian menginisiasi wisata edukasi. Mereka merekrut 15 orang lagi dari warga sekitar dan bekerja sama dengan Kesatuan Pemangku Hutan Banawa Lalundu.
Mereka memoles hutan mangrove seperti yang saya nikmati siang itu. Membangun titian jalan menggunakan bambu, sehingga saya bisa menembus menikmati bagian dalam hutan. Ada pondok-pondok dan anjungan kayu untuk beristirahat dengan latar Teluk Palu yang menawan. Botol-botol plastik bekas minuman dicat warna-warni, menghiasi spot-spot untuk berswafoto.
Dengan cara itu, KTH Gonenggati berhasil menarik banyak pengunjung terutama generasi muda. Siang itu, ada belasan pelajar —dengan seragam yang masih melekat, asyik bercengkerama di Gonenggati. “Harapannya selain berwisata, mereka bisa belajar bagaimana pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan,” kata Yusranto berharap.
PEREDAM TSUNAMI
Gempa berkekuatan 7,4 skala richter mengguncang rumah Iwan di Jumat sore, 28 September 2018. Saat itu ia baru sampai di rumah, setelah seharian berada di laut untuk menangkap ikan.
Rumah Iwan retak ringan di beberapa sudut. Ia beruntung, tsunami tak mengenai rumahnya di Kelurahan Kabonga Besar yang terletak satu kilometer dari pesisir Teluk Palu.
Nelayan berusia 44 tahun itu, mengatakan, tsunami tak mengenai pemukimannya karena terhalang oleh hutan mangrove yang tumbuh rapat di pesisir. “Nelayan di Kabonga Besar sama sekali tidak ada yang terkena tsunami,” kata dia, pekan kedua Desember.
Ketua KTH Gonenggati, Yusyanto, mengatakan, setelah ia mendengar kabar adanya tsunami, beberapa pengurus kelompok mengecek kondisi wisata hutan mangrove. Hasilnya, tidak ada kerusakan, hanya beberapa pondok dan anjungan basah oleh air laut. Dari jejak yang ditinggalkan, ia memperkirakan, air laut sempat naik setinggi 2-3 meter.
Tapi berkat hutan mangrove, kata Yusyanto, air laut bisa diredam sehingga tidak sampai ke pemukiman warga. Bahkan air laut juga tak mengenai ruas jalan utama yang menghubungkan Kabonga Besar dan Donggala kota.
“Hutan mangrove membentuk jaring yang memperlambat gelombang tsunami,” kata Yusyanto.
Tanpa hutan mangrove itu, Yusyanto, tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Gelombang tsunami akan langsung menerjang ke daratan dan merusak bangunan-bangunan di pesisir sebagaimana yang terjadi pada pemukiman di pesisir lainnya pada 28 September 2018.
Ia pun meminta agar pemerintah Sulawesi Tengah mengkoservasi mangrove di sepanjang pesisir Teluk Palu yang rawan tsunami. “Menanam mangrove saat ini akan bisa dinikmati oleh generasi kita 50 tahun nanti,” katanya.
Peran hutan mangrove dalam mengurangi dampak kerusakan tsunami telah banyak diteliti. Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) memberikan contoh hutan mangrove di Tamil Nadu, India, yang dapat memperlambat gelombang laut dan melindungi 700 orang yang tinggal dalam jarak 100 meter hingga 1 kilometer dari hutan tersebut.
FAO juga menyebutkan, saat tsunami Aceh (2004), jumlah korban jiwa di Pulau Simeuleu, yang dekat dengan pusat gempa relatif sedikit. Sebagian karena disebabkan oleh hutan bakau yang mengelilingi pulau tersebut. Termasuk juga dengan hutan bakau yang mengurangi kekuatan tsunami di provinsi Phang Nga (Thailand) sehingga hanya sedikit wilayah pedalaman yang rusak.
Kantor Berita Inggris, BBC, edisi 12 mei 2015 menurunkan laporan, tentang dampak tsunami 2004 yang mengakibatkan 6 ribu orang di sebuah desa di Srilanka meninggal. Sebaliknya dua desa lain yang memiliki hutan bakau yang rapat, tercatat hanya dua orang yang tewas. Bencana itu membuat Srilanka memutuskan untuk menanam dan melindungi kawasan pantai dengan hutan mangrove.
Ketua Relawan Mangrove Teluk Palu, Ismail, mengatakan, dulunya hutan mangrove banyak tumbuh di pesisir Kelurahan Talise. Namun keberadaan hutan magrove semakin susut karena kawasan pesisir beralihfungsi menjadi tambak garam, pemukiman, dan infrastruktur.
Mangrove jomblo yang pernah tumbuh sebelum bencana, menjadi jejak bahwa dulunya ada hutan mangrove di Pantai Talise. “Saat jembatan kuning dibangun, itu mematikan seribu lebih pohon mangrove,” kata Ismail.
Menurut Ismail, setelah tsunami 2018, konservasi mangrove harus menjadi kebutuhan utama daripada membangun tanggul yang bernilai miliyaran rupiah. Sebab mangrove lebih banyak menguntungkan bagi nelayan dan warga sekitar, sebagai peredam tsunami dan menahan gelombang pasang.
“Membangun tanggul pun akan hancur juga kalau dihantam tsunami,” katanya. Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola, mengatakan, pembangunan tanggul adalah solusi paling cepat untuk menahan gelombang pasang yang menyebabkan banjir rob ke perkampungan warga. “Untuk jangka panjang kami akan menanam mangrove,” kata Longki, Jumat siang.
Penulis: Ika Ningtyas
artikel ini adalah republikasi dari web kabarsultengbangkit yang diinisasi AJI bekerjasama dengan Internews untuk bencana 2018