Merajut, untuk Menghilangkan Trauma

SELESAIKAN ORDERAN - Heny merajut tas tangan untuk pelanggannya

HARI-hari Herny alias Heny kini banyak dihabiskan di rumahnya. Ia bergulat dengan waktu untuk segera menyelesaikan delapan buah tas rajut berbahan tali, pesanan dari para pelanggan. Satu buah tas, bisa ia rampungkan dalam tiga hingga empat hari. Kesibukan itu sedikit demi sedikit membantunya melupakan bencana yang melanda 28 September lalu.

‘’Alhamdulilah mulai ada yang order,” katanya sumringah, di pekan lalu Tas-tas itu ia banderol mulai harga Rp150 ribu hingga Rp250 ribu, tergantung motif dan ukuran. Selain memulihkan trauma, usaha kerajinan itu kini menjadi penopang ekonomi bagi keluarga Heny.

Perempuan 27 tahun itu, menggeluti kerajinan tas rajut sejak 2016. Ia mempelajari keterampilan itu secara otodidak. Penghasilan dari usaha itu awalnya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Di antara kesibukannya membuat tas rajut, saat itu keluarga Heny memiliki sebuah kafe. Letaknya cukup strategis, hanya berjarak 25 meter di pinggir Pantai Talise.

Kafe selalu ramai pembeli, mendatangkan penghasilan paling sedikit Rp1 juta per hari. Hingga tsunami 28 September menggulung kafenya tak bersisa. Bencana itu sekaligus mematikan ekonomi keluarga dan membuatnya berjeda untuk merajut.

BAYANG-BAYANG TSUNAMI

Heny sesekali menengok ke arah pantai. Wajahnya sedikit cemas. Pemberitaan tentang bencana tsunami di Selat Sunda yang ia akses dari ponsel, membuatnya kembali mengingat tsunami yang melanda Palu tiga bulan lalu. Ia cemas karena rumahnya hanya terpaut sekitar 500 meter dari Pantai Talise, Teluk Palu. Saat itu, Heny bersama ibunya, Satna, baru saja selesai menata kuliner khas Kaili di kafe saat Festival Pesona Palu Nomoni (FPPN) 2018 berlangsung.

Gegap gempita festival membuat kafenya penuh oleh pengunjung. Kesibukan melayani pembeli bahkan terus berlangsung hingga menjelang magrib. Saat meracik minuman, gempa mengguncang. Heny terjatuh. Suara gemerincing gelas dan botol minuman berjatuhan terdengar di mana-mana. Sejenak ia mendongak. Kafe, bangunan panggung dan gazebo yang berjajar di pantai satu-persatu mulai runtuh.

Heny kemudian memanggil-manggil ibunya. Ia menemukan ibunya terjerembab. Mereka lalu menangis berangkulan. Sadar bahaya yang terus mengancam, ia menarik tangan ibunya menjauh meninggalkan kafe. Heny sempat menoleh ke belakang, tampak buih putih menjulang menuju ke arahnya. Ia sadar itu adalah gelombang tsunami.

Heny terus menarik-narik tubuh tambun sang ibu untuk berlari menuju jembatan Ponulele. Inilah satu-satunya tempat yang cukup tinggi, dan dianggapnya tempat aman. ‘’Jika terus berlari menyusuri jalan, kemungkinan kami tersapu ombak yang datang sangat cepat,’’ katanya.

HASIL KREASI – Salah satu rajutan tas yang dipesan pembeli

Saat menuju titik paling tinggi itulah, ombak datang menerjang. Keduanya berpegangan di tiang jembatan. Mereka selamat dari hempasan pertama. Merasa aman, keduanya kembali berlari ke titik paling tinggi di jembatan. Dari kejauhan, Heny melihat ombak berbuih putih datang lagi. Suasana mulai gelap.

Terjangan ombak kedua, terasa lebih kuat. Ibunya nyaris terlepas tak kuat menahan sapuan material yang datang bertubi-tubi.
‘’Ayo Ma. Mama kuat. Kalo harus mati, saya ingin mati bersama mama,’’ teriaknya sambil terus mengapit tubuh ibunya di tiang jembatan. Ombak ketiga, hempasan gelombang makin melemah. Namun arus baliknya terasa sangat kuat, menarik semua benda dan ratusan tubuh manusia yang bergelimpangan.

Heny dan ibunya selamat. Termasuk sang ayah, yang saat bencana sedang pergi membeli barang di toko langganan. “Untung Papa tidak ada. Papa sudah cukup tua untuk berlari jauh seperti ini,’’ katanya mengenang.

Untuk menenangkan diri, Heny dan keluarganya boyongan sementara ke Semarang, Jawa Tengah. Selain menghadiri wisuda adiknya di Universitas Diponegoro Semarang, ia butuh berwisata menghilangkan trauma. Di Semarang cobaan lain ternyata datang. Ibunya yang berusia 53 tahun, terserang penyakit jantung. Beruntung, kata dia, ibunya mendapat keringanan biaya rumah sakit, setelah mengetahui mereka adalah penyintas dari Palu, Sulawesi Tengah.

Tapi dua pekan di Semarang tak lantas membuat traumanya hilang. Bayangan ombak tsunami yang menghajar tubuhnya masih mengiang. Gemuruh angin menerpa pepohonan, kerap membuatnya terjaga saat malam. Suara berderap orang yang berlarian di kerap membuat jantungnya berdegup kencang. Termasuk bayangan tubuh yang bergelimpangan saat tsunami September silam berkelebatan dalam ingatan.

Tak ingin terus-terusan dijerat bayangan itu, ia sempat mengikuti program pemulihan psikososial. Terakhir ia mengikuti pemulihan trauma yang diselenggarakan AJI Indonesia bersama Yayasan Pulih. Di tengah upaya itu, ternyata lulusan S1 MIPA Universitas Tadulako, itu lebih tenang saat kembali merajut.

Ia pun bertekad menghidupkan kembali usaha tasnya. Ia mempromosikan hasil rajutannya melalui media sosial. Dari situlah satu persatu orderan mulai datang. Di tengah usahanya yang mulai membaik, ia pun dihadapkan tantangan lain. Yakni tali kur sebagai bahan baku harus ia pesan dari Jakarta atau Surabaya. Itu membutuhkan waktu pengiriman dan ongkos. Mau tak mau, Heny pun menjual tasnya lebih mahal dibandingkan sebelum bencana. Meski banyak tantangan, Heny tak ingin menyerah. Sebab ia tak ingin terlalu lama menjadi beban bagi keluarga.***

Penulis dan foto: Yardin Hasan
Editor: Ika Ningtyas

artikel ini adalah republikasi dari web kabarsultengbangkit yang diinisasi AJI bekerjasama dengan Internews untuk bencana 2018

Tinggalkan Balasan