Sosok

Menganyam Segalur Mimpi di Teluk Jahanam

PANTANG MENYERAH - Rina perempuan nelayan Teluk Palu - berjuang tanpa batas demi nasib baik untuk anak dan suaminya.

RINA seorang nelayan perempuan memilih menjalani dua peran nyaris bersamaan dalam sehari semalam. Peran yang telah dijalaninya sejak 15 tahun silam. Mengurus suami yang sudah renta. Dan mengawasi keenam anaknya dan segala rupa urusan rutin di dalam rumah pada siang harinya.

Lalu malam hari pukul 19.00 wita, meninggalkan anak-anaknya di ranjang untuk menjelajah laut Teluk Palu sebagai nelayan. Menghabiskan 8 jam di tengah laut, kembali pukul 07.00 wita, mendapati anak-anaknya bersiap ke sekolah.

Beruntung, malam harinya semua peralatan dan kudapan pagi sudah ia siapkan. Sehingga anak-anaknya tetap mendapatkan sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Peran ini dijalaninya sejak 2006, sejak suaminya Mohamad Said (70) tak lagi bersamanya mengarungi Teluk Palu. Said menyerah karena dikerat usia.

Sejak itu pula, praktis dialah satu-satunya sandaran keluarga. Mulai untuk menghidupi enam anak, membiayai pendidikan, membayar pengeluaran rutin keluarga, seperti rekening listrik hingga membayar iuran di kompleksnya.

Di pundaknya, tanggungjawab itu ia pikul demi menegakkan martabat keluarga. Anak-anaknya harus tetap mendapat hidup layak – sebagaimana komitmen ia dan suaminya dulu, saat awal-awal membina kehidupan bersama.

Saat fajar baru 1 Januari 2021 merekah di ufuk timur, Rina yang masih di atas perahu, tubuhnya tampak terayun dihempas ombak kecil yang berkejaran menuju daratan. Wajah perempuan berusia 40 tahun tampak semringah. Satu termos tampak terisi ikan hasil melaut pada malam tahun baru. Orang-orang yang sedari tadi menunggu kedatangannya, tak sabar mendapatkan ikan segar di pagi hari tahun baru.

Tubuhnya tampak gesit melompat keluar dari lambung perahu. Di balik kerudung ungu yang menutup kepalanya, wajahnya terlihat mengeras. Bersiap mendorong perahu ke daratan. Bebatuan gunung dari material reklamasi yang gagal itu, terlihat mengganjal laju perahunya. Namun tak dipedulikannya. Dengan satu dorongan penuh dibantu energi ombak dari belakang, sepotong badan perahu akhirnya menyentuh daratan. Bulir keringat tampak menyusuri pipinya, hilang seketika saat disapu angin pagi Teluk Palu.

Sesaat termos berisi ikan sudah berpindah ke tangan pelanggannya. Lembaran uang 20 ribuan dikemasnya dalam dompet mungil warna biru laut. Di sampingnya, tampak lima ekor ikan merah sebesar telapak tangan teronggok tak beraturan. Itu untuk jataj keluarganya yang sejak semalam menanti kedatangannya. ”Ini untuk di bawah di rumah,” sahutnya pendek.

Ditemui bersamaan dengan fajar baru tahu 2021, ibu enam anak ini, akhirnya bersedia berbagi cerita. Ini adalah pertemuan kali kedua. Sebelumnya, saat bersama relawan KIARA sebuah lembaga nirlaba yang bergerak pada pemberdayaan masyarakat pesisir pada 19 Desember 2020 lalu. Saat itu Rina sempat bertutur panjang sebagai satu-satunya nelayan perempuan di Teluk Palu – setidaknya di Pantai Talise untuk saat ini.

Menghabiskan waktu 25 menit berbincang di atas gundukan pasir, sembari menunggu waktu pulang, Rina menuturkan bagaimana perlakuan yang diterimanya sebagai perempuan penyintas yang menghidupi suami dan enam anak. Di tengah pandemi yang memengaruhi daya beli warga terhadap hasil tangkapannya, Rina mengaku tak lagi tertarik mengumbar cerita soal perhatian yang dinilainya tak adil. Padahal sama sama berstatus penyintas bencana.

Ia sebenarnya tidak menuntut perhatian lebih – hanya karena posisinya sebagai perempuan dengan tanggungjawab penuh terhadap suami dan enam anaknya. Tapi melihat rekannya sesama penyintas yang begitu mudah mengakses bantuan, kadang muncul pula perasaan perlakuan tidak adil.

Sebagai penyintas, ia dan keluarganya tidak mendapatkan fasilitas hunian tetap.
Sebagai nelayan ia pun tidak mendapatkan bantuan perahu.
Sebagai perempuan – di tengah kuatnya diskursus tentang pemberdayaan perempuan – lagi-lagi ia tidak mendapatkan advokasi sebagimana para aktivis feminisme berkoar.

Pada saat-saat tertentu, saat sedang mendayung perahu ke tengah laut, Rina sesekali membatin. Jika ada bantuan pemerintah, kenapa orang seperti dirinya terabaikan. Atau apakah karena posisinya sebagai nelayan perempuan memang tidak direken.

Di tengah ketidakpedulian para pihak terhadap nasib orang-orang seperti dirinya, Rina menitip harapan besar, tentang komunitas nelayan yang menggantungkan harapan hidupnya di sepanjang Teluk Palu. Jika untuk urusan perahu dan keperluan lainnya, kata dia, dirinya masih cukup kuat untuk mengusahakannya sendiri. Namun yang satu ini, benar-benar di luar kemampuannya – bahkan koleganya sesama nelayan tak berdaya mengatasinya jika bukan pemerintah yang turun tangan.

Pantai Teluk Palu kini dihuni puluhan hewan reftil. Saban hari buaya buaya beraneka ukuran terpantau berada di air dangkal. Bahkan mengapung dekat tambatan perahu. Kian hari jumlahnya makin bertambah. Membuat keselamatan mereka semakin terancam.

Sembari tersenyum, Rina berujar Teluk Palu seperti teluk jahanam pada kehidupan nelayan.

Batas pantainya ditimbun batu-batu besar, membuat akses perahu ke daratan hilang.
Di laut buaya terus mengintai keselamatan nelayan. Rekannya, nelayan pria bahkan sudah pernah berjibaku dengan buaya. ”Untung dia selamat. Teluk jahanam,” katanya.

Walau diintai bahaya dan atensi yang minim dari para pihak, Rina mengaku akan terus menggeluti profesinya yang telah dipilihnya itu. Saat ini penghasilannya memang turun drastis. Sebelum gempa sehari bisa meraup Rp500 ribu hingga Rp1 juta. Kini sehari hanya bisa Rp150 ribu hingga Rp200 ribu per hari. Tapi itu tidak membuatnya banting setir ke tempat lain.

Rina kembali bilang, keberaniannya berhadap-hadapan dengan ancaman buaya dan totalitasnya terhadap profesi melaut, baginya tak semata karena, ia merasa nyaman menjelajah laut biru untuk menutupi kebutuhan hidup.

Di atas itu, adalah demi cintanya pada orang-orang terdekat. Pada suaminya. Ia tak berhenti mengalirkan energi cintanya. Dan pada anak-anaknya. Tempat ia memancarkan kasih tulus seorang ibu – walau kadang harus pisah pada malam harinya.

Itulah energi terbesar dalam dirinya yang terus mendorongnya menantang ombak ganas. Kekuatan cinta inilah yang membuat ia memasrahkan dirinya ditelan malam pekat di lautan sana. Sebagaimana komitmennya bersama suami saat bincang lepas di atas perahu yang terus terngiang di kepalanya. Mereka bertekad keenam anaknya bisa mengklaim satu tempat terbaik di masa depannya kelak. ”Itu saja,” katanya sambil menggamit ikan tangkapannya bersiap kembali pulang.

KUAT DAN MANDIRI – Berjuang demi kehormatan keluarga

Di tengah masyarakat patriarki dan sikap abai pemerintah, sosok Rina adalah jawaban telak atas stigma yang terbangun dalam memori kolektif di bangsa ini. Bahwa perempuan cukup di sumur dan kasur.

Rina mungkin tak punya otot bisep dan tulang belikat yang kokoh, sekokoh kolega prianya – jika sewaktu-waktu berhadapan dengan buaya ganas di Teluk Palu. Tapi itu bukan soal. Rentang waktu 15 tahun mengarungi laut di Teluk Palu sesekali bersama anaknya, adalah jawaban atas stigma yang sudah begitu menancap dengan solid di benak budaya patriarki.

Rina juga tidak sedang berteori tentang perlawanan pada nilai-nilai yang kaku, misogis dan cenderung menyudutkan perempuan. Namun keteguhannya mengambil alih tanggungjawab sebagai penopang utama keluarga, membuat stigma itu mampu dipatahkannya dengan sangat mudah.

Rina seorang nelayan perempuan sederhana di Teluk Palu, berjuang menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan di dalam keluarganya saat kondisi suaminya tidak bisa lagi menjadi patner yang bisa diandalkan. Tapi sekali lagi baginya itu bukan soal.

Rina nelayan perempuan – adalah minoritas dalam komunitasnya. Mungkin karena posisinya yang minoritas itu, sehingga eksistensinya tak dianggap. Namun itu tidak menurunkan tekadnya. Semangatnya terus hidup. Seperti penampilannya yang begitu bergairah pagi ini. Menggenapi janji bersama suami untuk membahagiakan enam anaknya adalah fokusnya. Menganyam segalur mimpi di Teluk Palu, karena di sanalah ia yakin harapan itu bisa diwujudkan. Bukan di tempat lain. ***

Penulis     : Amanda
Foto          : Noer Kadir

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan