Lingkungan

Mengenal Desa Dulumai, Tuan Rumah Festival Tradisi Kehidupan

DI ATAS BUKIT - Pemandangan Desa Dulumai, Kecamatan Pamona Puselembah, Kabupaten Poso, Sulteng

DESA Dulumai dipercaya sebagai penyelenggara Festival Tradisi Kehidupan. Di festival yang berlangsung dua hari, 18 – 19 Oktober itu, sedikitnya 57 tokoh adat hadir. Mereka membahas tradisi bertani. Dalam bahasa Pamona disebut Mpojamaa. Ada sejumlah alasan, mengapa  Desa Dulumai sebagai tuan rumah festival. Salah satunya, desa ini relatif homogen. Mayoritas penghuninya adalah suku bangsa Pamona. Bahasa Pamona menjadi bahasa dalam interaksi kesehariannya. Denominasi gereja juga hanya satu. Setidaknya, begitu yang saya dengar dari beberapa tetua adat yang ditemui. Dari Kota Tentena, Kabupaten Poso,  desa ini bisa capai dari dua jalur. Jalur darat dengan perjalanan tak sampai setengah jam. Sedangkan lewat danau, bisa lebih dari itu – apalagi jika cuaca berangin. Waktu tempuhnya menjadi tidak menentu.

Cerita tentang terbentuknya desa ini, cukup panjang dan berkelok. Bahkan dimulai sejak berabad lampau. Berdasarkan catatan Pdo Sigilipu yang dijadikan oleh Drs W Sigilipu M. Ak, untuk menyusun sejarah berdirinya Desa Dulumai, disebutkan embrio kemunculan desa telah dimulai sejak abad 16. Tatkala suku Longke yang berasal desa terpencil di Tanah Toraja bernama Sangala, mulai dikontrol VOC Belanda. Merasa tidak berdaulat di bawah telunjuk kompeni, mereka lalu meninggalkan Sangala mencari tempat tinggal baru. Pada tahun 1632, sekelompok orang dibawah pimpinan Ta Dipugi, berangkat dari Sangala menuju arah timur mendekati air laut. Kelompok ini tiba di Desa Jalaja dan menetap di sana hingga tahun 1645. Pengembaraan mencari tempat terbaik terus berlanjut. Dalam pencarian itu mereka menemukan tempat yang dianggap ideal di wilayah Waibunta (Baebunta) Luwu Utara kini. Di sana, mereka menetap hingga tahun 1700-an.

Kawin mawin di Waibunta  dengan warga setempat, menghasilkan komunitas yang terus membesar. Komunitas ini kemudian menempati daerah bernama Kalomba, wilayah kekuasaan Kerajaan Luwu. Pada tahun 1845 Belanda sudah mulai merangsek masuk hingga ke kedaulatan Kerajaan Luwu. Generasi Sangala dan turunannya kembali merasa tidak aman. Hidup di ujung telunjuk penjajah di atas tanah sendiri memang tidak enak. Maka tidak ada pilihan lain. Mereka memulai lagi pengembaraan baru. Di bawah pimpinan pemuda bernama Anoi alias Ta Lunoe, mencari tempat yang jauh dari jangkauan Angga Mata Nggula sebutan bagi penjajah Belanda. Pada tahun 1847 kelompok eksodus ini tiba di tanah Celebes bagian tengah yang dikuasai Raja Marunduh. Mereka menetap di sana hingga tahun 1866. Pada perkembangannya, Raja Marunduh melakukan konfrontasi dengan Kerajaan Luwu. Anoi dan kelompoknya enggan berperang karena berhadapan dengan keluarga mereka sendiri. Maka perjalanan mencari negeri yang tentram kembali dilanjutkan. Namun hanya beberapa orang yang bersedia berangkat. Rekannya yang lain enggan meninggalkan keluarga. Perjalanan dilakukan dengan menyisir daerah barat, kearah tepian Danau Poso. Kelompok kecil ini akhirnya tiba di Danau Poso tahun itu juga.


SUMBER NUTRISI – Sumber nutrisi seperti tersedia melimpah di Danau Poso

MASUK WILAYAH LONGKEA

Trauma dengan gangguan keamanan yang terus menghantui sejak orang tua mereka terdahulu di Sangala di Tanah Toraja, Anoi memilih bebukitan yang dikelilingi bukit terjal. Untuk mencapainya harus bergelantungan dengan tali temali di hutan. Di atas bukit, para pengembara ini memilih tempat datar di ketinggian (mopalongke) maka tempatnya itu kemudian populer disebut Longkea. Artinya tempat datar di ketinggian. Warga Desa Dulumai menyebut bahwa tempat asli mereka adalah di Longkea. Bermukim di sana sejak tahun 1867. Sejak saat itulah sebutan To Longkea digunakan untuk mengidentifikasi orang Longkea. Pada tahun 1871, warga Longkea mengalir ke dataran rendah untuk bercocok tanam. Berpuluh tahun kemudian dengan berbagai dinamikanya dengan tetap mempertimbangkan faktor keamanan, mulai lebih dekat di danau yang menjanjikan sumber nutrisi.

MERINTIS KAMPUNG DULUMAI

Pada tahun 1900 ada keinginan membuka daerah baru. Pilihannya jatuh di daerah Tando nTakodao. Namun pada tahun itu, Ngkai Tajika alias Ngaki Buawu membuka lahan baru untuk perkebunan. Ia kemudian mewakafkan ladangnya menjadi pemukiman. Pasalnya, tempat tersebut dianggap strategis untuk bertahan jika terjadi serangan musuh. Karena tempatnya dianggap strategis mereka menamainya Dulumai alias Tuntungi Ma’i. Artinya tuntun kemari. Orang Bada yang menemukan temppat itu, menamainya Dulumai agar orang yang mengembara mencari pemukiman baru di tepi danau dituntun menuju Tanjung Tangkadao itu.

Pada tahun 1912 wilayah Dulumai menjadi lebih terbuka. Orang Belanda datang membawa pendidikan di setiap desa. Bahkan warga Desa Dulumai yang menjadi angkatan pertama Zekolah Zending adalah Rabinto dan kawan-kawan. Sejak berdirinya hingga saat ini Desa Dulumai telah mencatatkan sejumlah kepala desa. Kepala desa terakhir adalah Efren Ponangge yang baru saja diganti dengan pelaksana tugas harian. Kini warga Desa Dulumai dihuni 170 kepala keluarga dengan 600-an jiwa. Warga Dulumai umumnya bertani sawah dan berkebun. Ada yang beternak tapi tidak dominan. Hanya beberapa orang. Ladang penggembalaannya pun bukan di Dulumai tapi di desa tetangga Tokilo.

Menurut Efren Ponangge, selain sawah warga menggarap lahan perkebunan. Tiga komoditas utama warga Dulumai adalah cengkeh, cokelat dan durian. Komoditas sangat ini menunjang penghasilan penduduk desa. Sehingga warga bisa menyelokahkan anaknya hingga ke pendidikan tinggi. Warga Dulumai juga banyak yang keluar dari desanya. Khususnya di daerah Poso Pesisir. Penyebaran itu lebih bermotif ekonomi, yakni untuk menjadi petani sawah. Di Dulumai lahan sawah sangat kecil. Hanya 80 hektar. Produksinya hanya cukup untuk konsumsi warga setempat. Pendidikan warga umumnya lulusan SMA. Namun seiring membaiknya ekonomi, generasi mudanya banyak yang mengenyam pendidikan tinggi, mulai di STT Teologia Tentena, Unkrit Tentena, Universitas Tadulako hingga ke Ibukota Jakarta.

PEREMPUAN DI DESA – Desa Dulumai menawarkan kehidupan sosial yang tengang dan guyub

RELASI GEREJA DAN PEMERINTAH DESA SANGAT SOLID

Kepala Desa Dulumai periode 2010 – 2020, ini  menjelaskan, selama 10 tahun memimpin Desa Dulumai, praktis tidak ada hambatan yang ia rasakan. Semua program pemerintah bisa dijalankan dengan lancar. ”Warga sangat aktif dalam setiap program pembangunan desa,” katanya. Efren menambahkan, di Desa Dulumai penduduknya relatif homogen. Suku Pamona menjadi etnis mayoritas bahkan hampir seratus persen. Pun demikian halnya dengan denominasi gereja yang mayoritas protestan lutheran. Tidak ada aliran lain. Ini menurut dia menggampangkan kmunikasi. Sekaligus  membuat relasi antara gereja dan pemerintah desa begitu solid. Ia kerap duduk satu meja dengan Gembala Jemaat sekadar untuk menyampaikan program pemerintah yang akan diluncurkan. ”Selesai ibadah, saya berdiri menyampaikan program pemerintah yang akan dikerjakan, maka semua warga pasti sudah mengetahuinya,” jelas bapak dua anak ini. Demikian halnya, jika ada kegiatan gereja, pihaknya adalah orang pertama yang mengetahui dan selalu dalam posisi mendukung. Pola hubungan itu menurut dia, terlihat misalnya pengerjaan infrastruktur jalan desa. Proyek akan Dikerjakan oleh anggota jemaat hingga 10 kelompok. Upah dari hasil kerja sebagiannya untuk kepentingan pembangunan fasilitas gereja.

MENJADI TUAN RUMAH FESTIVAL TRADISI KEHIDUPAN

Monsintuwu Institut dan Aliansi Penyelamat Danau Poso (APDP) menunjuk Desa Dulumai sebagai penyelenggara Gawe Ada Ngkatuwu atau Festival Tradisi Kehidupan. Ini adalah festival yang digerakkan oleh warga untuk merayakan hari-hari mereka. Jika setiap hari berisi hal-hal bermakna, maka sejatinya itu perlu dirayakan. Begitu kira-kira gairah yang terpancar di wajah warga Dulumai. Maka selama dua hari 18 – 19 Oktober 2023 itu, warga menghentikan semua aktivitasnya sejenak. Di festival yang membincang tentang tradisi ini mereka terlihat bungah.

Dulumai desa kecil bertengger di atas bukit dikelilingi vegetasi yang rapat. Nyaris separuh wilayahnya dikepung air Danau Poso. Di dalamnya berdiam 600 jiwa yang menggantungkan kehidupannya dari alam sekitar. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota yang individalis dan kadang saling memangsa karena kompetisi hidup yang ganas, desa-desa yang sederhana masih menyimpan pesona tersendiri. Seperti halnya  Desa Dulumai. Kehidupan berjalan tenang. Kesejukan alam, keramahan orang-orangnya, interaksi sosial yang guyub dan nilai-nilai tradisional yang kuat, menghadirkan pengalaman batin yang dalam.

Sampai jumpa  pada Festival Tradisi Kehidupan berikutnya.
Entah di Sulewana. Entah di Poso Pesisir. ***

Penulis: Amanda
Foto-foto: Ray Rarea – Mosintuwu Institut

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan