POSISI hukum masyarakat adat saat berhadapan dengan isu pembangunan maupun korporasi sangat lemah. Dalam banyak kasus, posisi masyarakat adat yang mempertahankan hak adatnya melawan kekuatan komplet korporasi yang dibelakangnya berdiri kekuatan negara memaksa masyarakat adat harus takluk. Fenomena ini muncul tekad kuat akan hadirnya komunitas masyarakat adat yang memiliki kapasitas advokasi. Dengan demikian dapat membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menjadi korban untuk mendapatkan akses keadilan.
Keinginan itu, yang melatari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menggelar diskusi yang menyoal pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di dalam dan sekitar wilayah operasional bisnis, dalam menjalankan protokol persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan. Selanjutnya akronimnya disebut Padiatapa.
Diskusi yang berlangsung di Palu, 28 November 2022 ini, diharapkan mendorong peran masyarakat adat memiliki kapasitas untuk mengimplementasikan prinsip Free, Prior and Informed Concern (FPIC). Khususnya penatakelolaan sumber daya alam masyarakat adat. Diskusi ini menghadirkan pembicara, Ridha Saleh mantan Anggota Komnas HAM kini Asisten Ahli Gubernur Sulteng. Syamsul Hadi, Direktur KMA Kementrian Pendidikan dan kebudayaan dan Syamsul Alam Agus, Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat. Kemudian Irma Suriani – Manager Lingkungan dan CSR PT Poso Energy – salah satu perusahaan milik Bukaka Group yang membangun PLTA di Poso.
Diskusi dibuka oleh Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, ia mengatakan, pentingnya prinsip FPIC bagi sebuah korporasi maupun lembaga negara melakukan kegiatan pembangunan di wilayah adat. Rukka bilang, FPIC itu ibarat masuk di rumah orang. Harus menyapa terlebih dahulu. Harus mendapatkan persetujuan untuk masuk atau tidak. Setelah dapat izin baru masuk. ”Yang selama ini terjadi, perusahaan masuk di wilayah adat masyarakat adat, tidak hanya masuk tanpa izin, tapi pencuri, merampok, setelah itu membakar rumah atau wilayah adat orang,” kritiknya.
Diskusi publik dilaksanakan sebagai salah satu kerangka kerja advokasi. Ini kata dia untuk memastikan prinsip Padiatapa diterapkan dalam level kebijakan publik terhadap perusahaan. Hal ini tidak terlepas massifnya pelanggaran HAM dalam wilayah operasi bisnis berupa kriminalisasi, intimidasi, kekerasan, dan represif terhadap masyarakat adat. Diskusi publik ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan paralegal bagi masyarakat adat yang akan dilaksanakan pada 29 November hingga 2 Desember 2022 di Tantena, Kabupatan Poso.
Syamsul Hadi, Direktur KMA, Kementrian Pendidikan dan kebudayaan, mengatakan masyarakat adat dilindungi oleh Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 18 B angka 2. Negara katanya mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya. Dan itu berlaku sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Mengutip pasal 28I angka 3, Hadi kembali menambahkan, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Ini dilanjutkan dengan Amandemen UUD 1945 Pasal 32. Dimana Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Selain itu keberadaan Masyarakat adat juga telah mendapatkan Piagam Hak Asasi Manusia yang dimana mengatur tentang identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Syamsul Alam Agus, Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat, menyampaikan, Indonesia harus menunjukkan komitmen mengimplementasikan prinsip yang tertuang dalam Declaration on the rights of Indigeneous Peoples (UNDRIP). Di dalamnya menetapkan hak individu dan kolektif masyarakat adat. Mulai dari hak Masyarakat adat untuk memelihara dan memperkuat institusi, budaya dan tradisi mereka sendiri. Termasuk untuk mengejar perkembangan mereka sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri.
Alam ini menambahkan, dalam rangka melaksanakan royek seharusnya negara menggunakan prinsip Padiatapa kepada masyarakat yang akan terkena dampak dari pembangunan tersebut. Padiatapa merupakan hak yang dimiliki masyarakat adat untuk memberi tidak persetujuan proyek yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lahan, mata pencaharian dan lingkungan mereka. Sedangkan Asisten Ahli Gubernur Ridha Saleh, mengatakan, perlindungan masyarakat itu tanggung jawab kita bersama. Karena itu berkaitan hak mendasar yang melekat bagi masyarakat adat. Dan secara substansi menyangkut identitas atau hak asal-usul maupun akan akan masa depan. Sementara Irma Suriani, pada kesempatan itu, memaparkan soal program elektrifikasi di Sulawesi yang bersumber dari PLTA Poso yang dibangunnya. Ia juga menyampaikan budidaya sidat melalui fish way (jalan ikan) yang dibangunnya di lokasi PLTA.
PERAMPASAN WILAYAH ADAT MENINGKAT
Berdasarkan catatan akhir tahun 2021 dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menunjukkan bahwa Perampasan wilayah adat, kekerasan, kriminalisasi dan penyangkalan terhadap masyarakat adat terus makin meningkat. AMAN dan PPMAN (Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara) sepanjang 2022 telah menerima tiga puluh lima (35) kasus perampasan wilayah adat yang mencakup areal seluas 251.000 hektar dan berdampak pada pada 103.717 jiwa. Bahkan satu orang anggota Komunitas Masyarakat Adat di Kecamatan Kasimbar, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah tertembak mati dalam bentrok dengan aparat kepolisian saat aksi menentang Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Trio Kencana.
Beragamnya masalah hukum yang terjadi dan menimpa masyarakat adat di wilayah yang menjadi obyek pembangunan negara maupun bisnis perusahaan, maka diskusi publik ini sebut Rukka Sombolinggi, masyarakat adat memiliki peran secara penuh untuk memastikan implementasi prinsip Free, Prior and Informed Concern (FPIC) dalam tata kelola sumber daya alam masyarakat adat.
Diskusi Publik menghadirkan narasumber dari berbagai pihak mulai dari pemerintah, lembaga dan swasta. Dihadiri oleh CSO, Organisasi sayap AMAN yaitu Perempuan Adat, Badan Pemuda Adat serta komunitas masyarakat adat yang terdiri dari komunitas masyarakat adat Pamona, Togean, KailiTado, Kasinimbar, Mateko, Rampi, Seko, Pali Sadan, Makale, Karama, Tabulahan, Adolang. ***
Penulis: Amanda
Foto-foto: Amanda – Erna, PPMAN
One reply on “Menyoal Perlindungan Hak Masyarakat Adat di Wilayah Operasional Bisnis”
[…] Sumber: https://www.roemahkata.com/menyoal-perlindungan-hak-masyarakat-adat-di-wilayah-operasional-bisnis/ […]