FESTIVAL Mosintuwu 2022 yang digelar sejak, tanggal 9 hingga 12 November berakhir sukses. Tak hanya sukses penyelenggaraan. Tapi juga sukses sebagai ajang mengangkat eksistensi budaya Poso dengan mengingat, menjaga, merayakan tanah air dan hutan. Sedikitnya 34 mata acara berlangsung dengan mulus. Dimulai dengan karnaval hasil bumi yang diikuti 20 desa di Kabupaten Poso. Dan berakhir dengan panggung musik oleh Gede Robi Navicula dipungkasi dengan modero yang bubar keesokan harinya pukul 02.00 wita.
Dibalik kesuksesan festival yang tertunda selama dua tahun akibat Pandemi Covid-19 itu, ada sekelompok orang yang mendedikasikan tenaga dan waktunya. Menyumbangkan tenaganya untuk hajatan yang digeber selama empat hari itu. Mereka adalah sekelompok remaja yang bergerak gesit dan lincah. Diselingi hujan sesekali, mereka tak mengendurkan semangatnya. Suksesnya festival rakyat ini – tak terlepas dari dukungan anak-anak muda ini.
Mereka adalah relawan yang direkrut untuk mendukung pelaksanaan festival dengan agenda padat itu. Ada 27 tenaga relawan yang siap siaga setiap saat. Mereka berada di sudut-sudut lokasi festival. Mereka terhubung satu sama lain. Mereka memastikan semua pengunjung mendapatkan informasi tentang agenda festival. Termasuk memastikan kebutuhan peserta dan pemateri di delapan kelompok workshop terpenuhi dengan baik. Menyiapkan kertas plano, mengarahkan peserta, memoderasi kegiatan diskusi hingga memunguti sampah. Menggedor pintu penginapan mengingatkan para tamu segera menuju rumah tempat sarapan juga menjadi kerjaan mereka. Ada pula yang mengangkat papan tulis ke tempat-tempat pelatihan hingga mengangkut air minum ke tempat festival adalah pemandangan yang akrab terlihat selama hajatan.
Mereka adalah orang pertama yang dipanggil oleh host Lani Mokonio, jika sewaktu-waktu ada kebutuhan mendesak. Misalnya, menghubungi narasumber jika waktu diskusi dan workshop sudah dimulai. Saat jeda mereka ”berkoloni” mengelilingi Tambi (bangunan adat Lore) untuk berbelanja kuliner pavorit dengan bekal mata uang woyo senilai Rp90 ribu per orang per hari.
Energi mereka seolah tak ada habisnya. Berlari-lari kecil ke bangunan utama Dodoha. Maupun ke dermaga Dodoha tempat workshop menulis jaraknya yang 200 meteran lebih. Hingga wara wiri di lokasi festival menelisik dan memastikan tidak ada hal-hal kecil yang terlewatkan. Selain dari Kota Tentena, mereka ada yang datang dari Toraja, Sulsel, Morowal Utara hingga USA. Jenjang pendidikan mereka pun beragam. Mulai SMK, SMA dan mahasiswa hingga umum. Mereka tergerak untuk terlibat dalam festival setelah melihat pengumuman di instagram milik panitia tentang perekrutan tenaga relawan Festival Mosintuwu 2022.
Cerita tentang asyiknya menjadi relawan di festival yang sarat dengan pesan-pesan kebudayaan itu, salah satunya datang dari Siltin Bonjo (24). Dia adalah mahasiswa STT Tentena, Jurusan Pendidikan Agama Kristen. Siltin berasal dari Desa Winangabino Kecamatan Mamosalato Kabupaten Morowali Utara. Sebelum menjadi relawan, bungsu dari enam bersaudara ini mengaku, mengenal Monsintuwu Institut dengan kajian Mosikola Teologinya. Model Mosikola Teologi yang mendekatkan teologi dengan isu kehidupan sehari-hari termasuk isu lingkungan dan kebudayaan menarik perhatiannya. ”Bagi saya ini menarik. Memberi sudut pandang lain dalam kajian teologi,” katanya.
Testimoni lain datang dari seorang gadis, pelajar kelas I SMK 2 Tentena. Namanya, Gabriela Lobo (16). Pasangan enam bersaudara dari Paulus Sipi dan Felmin Palandung ini, menjadi relawan untuk mengganti karibnya yang berhalangan. ”Pas dipanggil untuk wawancara saya tidak ada. Tapi semua tugas saya bisa kerjakan,” katanya sambil mengumbar senyum. Sebagai relawan, aktivitas pertama yang dilakukannya adalah menjadi reporter radio, untuk melaporkan Karnaval Hasil Bumi. Sempat mendapat brief sesaat dari penyiar Radio Mosintuwu Eka, ia melaporkan suasana di lapangan kota hingga long march karnaval. Setelah itu, menjadi moderator workshop managemen keuangan bagi ibu rumah tangga di desa.
Selama menjadi relawan, ia tak perlu ke sekolah. Pihak panitia festival katanya mengirimkan permohonan izin ke sekolah. ”Festivalnya empat hari. Tapi dikasi izin satu minggu,” katanya tertawa ringan. Selama menjadi relawan, ia banyak mendapat pengetahuan soal kebudayaan Poso. Termasuk pengetahuan menata keuangan dimana ia sendiri menjadi moderatornya. Ditanya akan diapakan jatah uang woyo yang diperoleh sebesar Rp90 ribu per hari, Ela – demikian gadis penggemar lagu Sang Dewi (versi Lyodra Ginting) tampak terdiam sesaat. ”Itu untuk beli-beli makanan dan snack di sini. Tidak semua dibelanjakan. Sisanya ditukar lagi dibawa pulang,” ungkapnya terus terang.
Selama hajatan panitia membagikan uang woyo. Mata uang yang terbuat dari bambu untuk menjadi alat tukar sah selama pelaksanaan festival. Semua relawan diberi uang woyo sebesar Rp90 ribu per orang per hari. Uang tersebut dibelikan makanan dan snack maupun kebutuhan lainnya di stand milik ibu-ibu dari desa. Beberapa relawan yang ditemui mengaku, tidak mau boros membelanjakan uang woyo miliknya. Harga makanan di warung desa yang disediakan para koki dari kampung sebesar Rp15 ribu per porsi. Jika sehari semalam, mereka menghabiskan Rp30 ribu untuk dua kali makan dan kudapan, praktis masih tersisa Rp60 ribu untuk dibawa ke rumah.
Namun ada pula yang tak menukar uang woyonya semuanya. ”Saya sisakan 4 keping buat koleksi. Uangnya unik, lucu,” ungkap salah satu relawan asal Kota Tentena. Tak hanya relawan. Pengunjung yang hendak membeli oleh-oleh atau makanan di warung desa, terlebih dahulu harus menukar mata uang rupiahnya. Bank woyo hanya dibuka sampai pukul 07.00 malam. Lalu dibuka lagi keesokan harinya pukul 08.00 wita. Susan, teller di Bank Woyo bilang, transaksi uang woyo yang beredar setiap hari mencapai Rp5 juta lebih.
Baik Listin dan Ela maupun beberapa relawan yang ditemui mengaku, menjadi volunter di Festival Mosintuwu adalah kesempatan terbaik. Selain mendapat teman dan pengalaman bekerja dalam tim, mereka mendapat pengetahuan tentang kebudayaan Poso termasuk pangan lokal di warung-warung desa. Transaksi unik mata uang woyo menurut mereka memberi pengalaman dan sensasi berbeda. Model uang woyo yang imut nan unik menurut beberapa relawan, sebenarnya lebih cocok untuk koleksi atau hadiah ke teman dan pacar daripada menjadi alat transaksi. Unik, indah dan mengesankan. Begitu kesan yang menancap dalam hati mereka. ***
Penulis: Amanda
Foto-foto: Amanda, Ray Rarea