Bencana 2018

Munajat Cinta di Tanah Bencana

TABUR BUNGA - Ibu-ibu majelis taklim melakukan tabur bunga memeringati tiga tahun peristiwa gempa, Selasa 28 September 2021

Kematian selalu meninggalkan jejaknya. Yakni, kehilangan dan kenangan. Peristiwa kelam dalam sejarah kemanusiaan di Kota Palu, pada 28 September 2018 pun demikian. Ia meninggalkan jejak di hati banyak orang. Banyak jiwa yang hilang. Pun banyak kenangan yang terus diingat. Kenangan akan jiwa-jiwa yang hilang itu, terus membentang panjang mengarungi ruang dan waktu.

TABUR BUNGA – Pinandita Nyoman Lastika memimpin umat Hindu melakukan tabur bunga memeringati tiga tahun peristiwa gempa, Selasa 28 September 2021.

Ingatan terhadap para korban gempa dahsyat itu, tak kan hilang begitu saja, dari ingatan kerabat yang masih hidup kini. Meskipun waktu yang makin berjarak kebelakang. Kesan itu terlihat kuat dalam ritual empat jam lebih di kompleks Perumahan BTN Petobo Permai, Palu Selatan, yang digelar Selasa 28 September 2021. Sebuah hajatan untuk mengenang tiga tahun peristiwa tragis bertajuk ‘‘Doa Bersama Lintas Agama, Mengenang Tiga Tahun Korban Bencana Petobo.

Peristiwa senja yang merenggut paksa nyawa 21 warga perumahan di Kecamatan Palu Selatan itu, tak hanya meninggalkan jejak duka yang menghunjam ulu hati. Kehidupan warga pun tampak makin guyub. Relasi tanpa sekat membuat kehidupan di kompleks yang dihuni sekira 300 jiwa itu, bak taman sari dengan beragam bebungaan yang tak hanya indah dipandang. Tapi juga vitamin jiwa di tengah diskursus tentang toleransi dan keberagaman yang tak kunjung usai.

Sepotong kisah yang terjadi Blok C2 BTN Petobo, menarik disimak. Tiga puluh menit menuju pukul 16.30 wita, waktu dimana tiga agama serentak melakukan ritual masing-masing. Di blok C2 BTN Petobo, seorang ibu keluar dari pintu pagar dengan busana muslimah warna putih dan kerudung hijau lumut. Ia bersiap menuju Masjid Al Mutaqien, Petobo – untuk membaca tahlil peringatan tiga tahun korban gempa Petobo.

TABUR BUNGA – Umat Kristiani melakukan tabur bunga memeringati tiga tahun peristiwa gempa, Selasa 28 September 2021

Saat keluar, ia menyapa seorang ibu dengan setelan rapi. Seorang ibu paruh baya, istri anggota Provos Polres Palu. Setengah jam kedepan ibu ini, akan menggelar kebaktian, peringatan tiga tahun bencana. Seketika, dari balik pagar berkelir hitam, menyembul tubuh seorang ibu muda. Ia adalah istri anggota TNI – lengkap dengan kebaya, ikat pinggang dan wewangian yang membuat jalan sepanjang 50 meter dipenuhi bebauan. Di tangannya, menggenggam dupa – perlengkapan persembahyangan. Tiga ibu bertetangga ini, terlihat serius membahas detail acara yang akan dimulai 30 menit kedepan. Dipaksa rintik hujan, ketiganya bergegas berpisah, menyudahi percakapannya. Mereka berpencar menyelesaikan tugas terakhirnya.

KHUSUK – Membaca tahlil menandai tiga tahun peristiwa gempa, Selasa 28 September 2021

Pukul 16.17, di tenda yang ditempati persembahyangan umat Kristen dan Hindu mendadak kosong. Mereka serempak berdiri menuju lokasi tabur bunga di sudut kompleks BTN Petobo. Umat Hindu dengan pakaian persembahyangannya mendahului menuju lokasi tabur bunga. Sesaat kemudian, diikuti umat kristiani berjalan berurutan. Berjalan sekira 30 meter, kolega mereka di halaman masjid Al Mutaqien Petobo yang didominasi ibu-ibu majelis taklim, pun sudah bersiap menuju lokasi yang sama. Berikutnya, sudah bisa ditebak. Keriuhan terjadi seketika. Selain saling menanyakan kabar terkini, momen foto bersama menjadi pemandangan yang tak bisa dielakkan.

Kesempatan menabur bunga diberikan kepada pemuka agama muslim. Pemuka Hindu dan Kristen menunggu giliran di tenda yang berjarak sekira 60 meter dari tenda utama. Lembayung senja yang memerah di ufuk barat disertai gerimis, ikut mengiringi langkah kaki para pemuka agama dan umatnya. Mereka berderap dalam langkah yang sama. Dalam barisan toleransi yang kokoh dan solid. Prosesi tabur bunga berlangsung 30 menit. Dimulai dari kelompok muslim, diikuti umat Kristen dan terakhir umat Hindu.

Dari sana, prosesi dilanjutkan dengan ritual agama masing-masing. Umat muslim melangsungkan pembacaan tahlil di masjid. Puluhan jamaah anak-anak dan dewasa tampak khusuk, memanjat doa untuk para korban gempa tersebut. Dalam tauziah yang disampaikan imam masjid, menyebut, musibah adalah peristiwa yang harus dimaknai sebagai cobaan kepada umat. Gempa 28 September 2018, boleh membuat semua orang bersedih, karena kerabat dan hartanya yang hilang. Tapi itu adalah bacaan dan intropeksi tentang apa yang harus dilakukan. Demikian suara sang ustad dari bilik dinding masjid  hijau lumut itu.

KHIDMAT – Umat Hindu tenggelam dalam kekhusukannya, berdoa untuk kerabatnya yang menjadi korban gempa pada peringatan tiga tahun gempa liquefaksi Selasa 28 September 2021

Saat pelantang masjid terus memantulkan lafadz tahlil, dari jarak 40 meter ibadah umat Kristen di kediaman Keluarga Noldi Siombo – Anggota Provos Polres Palu di Blok C, terus berlangsung. Pendeta Ardi Ardianto dari Gereja Jemaat Kibaid Petobo, memimpin ibadah yang berlangsung sejam lebih itu. Dalam khotbahnya yang mengutip Mazmur 90 : 1-17. Ardianto menyebut, Tuhan adalah tempat perteduhan bagi orang yang sedang mengalami keluh kesah. ”Keluh kesah adalah sifat manusiawi. Tapi ingatlah Tuhan selalu ada untuk umatnya,” tandas Ardianto di atas mimbarnya.

Pinandita umat Hindu, Nyoman Lastika, menghabiskan sejam lebih untuk memimpin persembahyangan di rumah milik soerang anggota TNI. Lastika menyebut, ia memimpin pitra puja. Prosesi ritual persembahyangan untuk memanjatkan doa bagi semua korban agar mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan. Ritual yang dilakukannya adalah memberi penguatan, bahwa mereka yang menjadi korban bukan karena banyak dosa. Melainkan karma atau perjalanan hidupnya hanya sampai di situ. ”Jika seseorang meninggal dalam kondisi seperti apa pun. Termasuk seperti yang dialami warga Petobo pada peristiwa gempa, itu bukan karena kutukan dosa. Itu adalah karmanya memang hanya sampai di situ,” ulasnya panjang lebar.

Prosesi persembahyangan umat Hindu dilakukan berdampingan dengan ibadah umat kristen. Saat memimpin ibadah, dua pemuka agama itu hanya berjarak sekira lima meter. Sedangkan umat yang menempati badan jalan, hanya diantarai ruang setengah meter. Yang membedakan, umat Kristen terlihat memegang liturgi (tata cara ibadah), sedangkan Hindu memegang dupa dengan asap yang mengepul kecil di setiap ujungnya. Busana dan aksesoris juga menjadi pembeda yang mencolok. Namun kursi yang ditempati nyaris bersentuhan.

Saat umat Kristen mengumandangkan lagu pujian diiringi petikan gitar, disebelahnya umat Hindu membaca doa doa. Suara mereka terdengar saling mengisi satu sama lain. Bersamaan dengan matahari yang mulai redup suara tahrim azan magrib terdengar dari pelantang masjid. Makin melengkapi paduan symponi orkestra toleransi dari tiga pengikut agama ini.

TABUR BUNGA – Rian Saputra (22), warga Besusu yang ayahnya hilang di Kelurahan Petobo, menabur bunga di kompleks lifuefaksi Selasa 28

 

TINGGAL KENANGAN – Naila Azzahra Zainudin bocah cantik yang menjadi korban liquefaksi Selasa 28 September 2018 (foto heri susanto)

Desain peringatan tiga tahun bencana liquefaksi ini, diakui sekretaris panitia Tanwir, sebagai upaya mengokohkan bangunan toleransi di wilayahnya. Doa lintas agama tutur Ketua RT 9 BTN Petobo ini, adalah kesepakatan yang terbangun dari wadah warga bantu warga – sebuah gerakan sosial yang menitikberatkan pada kekuatan solidaritas berbasis warga akar rumput. Malam harinya, usai salat isya, relasi sosial yang nyaris tanpa sekat itu, masih terlihat di tenda utama. Tiga pemuka agama, tampil bergantian membawakan pesan pesan damai untuk umatnya.

IBADAH – ibadah mengenang mereka yang wafat pada gempa bumi dan liquefaksi di Petobo tiga tahun silam, Selasa 28 September 2021

Tiga tahun bencana berlalu, separuh wilayah BTN Petobo Permai, kini tak lagi berpenghuni. Mereka yang rumahnya hancur pindah di pemukiman baru. Kini, di atas lumpur yang mengering, mencuat kerangka rumah yang tinggalkan penghuninya. Sekilas bak artefak kuno yang tak terurus. Tapi itu tak mengendurkan semangat untuk terus mengalirkan cinta kepada mereka yang telah tiada. Munajat cinta di atas tanah bencana – adalah kisah tentang mengenang orang-orang tercinta – yang merelakan kehidupannya direnggut paksa oleh bencana dahsyat. Kini pesan cinta itu terus beresonansi menembus bilik bilik tertutup bernama fanatisme. Dalam relasi kehidupan yang lebih terbuka. Yang lebih menghargai dalam bingkai toleransi yang solid dan indah. ***

Daftar Korban Warga BTN Petobo Permai

1. Naila Azzahra Zainudin
2. Frili Maharani Latasad
3. Karen Andi Nelwan
4. Zain Jiyat A Nelwan
5. Priyo Budisantoso
6. Nur Magfhira
7. Muthia Mardiyah Cahyani
8. Gisela Angelia Tandi
9. Leni Marlina
10. Putu Feny
11. Dwi Putri Sulistiawati
12. Niluh Lasmiyati
13. Nunik Indrawati
14. Moh Rizal Uji
15. Alisha Putri Ayuno
16. Soebakrin
17. Drs Mudjiono
18. Ridwan Ma’ruf
19. Cahyani Nur Lembah
20. Windy Zairah Betalembah
21. Kesya Ramadani Betalembah

Penulis      : Amanda
Foto-Foto  : Amanda – Heri Susanto

 

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: