SUDAH berapa kali pemilu? sudah beberapa kali pilkada?
sudah beberapa kali pemilu legislatif?
sudah beberapa kali pejabat di Dinas Sosial berganti
Sudah berapa kali Kepala Bappeda diganti?
Mereka pejabat yang diwajibkan konstitusi mengurus orang-orang yang bernasib kurang baik. Mereka datang dan pergi. Tapi apa yang berubah dari kehidupan orang orang ini? Seperti ibu Wati di tempat pembuangan sampah Kawatuna, Palu Selatan. Saban hari menghabiskan waktu, menyusuri tempat sampah mengais limbah. Pekerjaan yang terus dijalaninya bertahun tahun demi menghidupi keluarganya.
Di Toili – Kabupaten Banggai, Ibu Samria nyaris tewas diberondong peluru aparat. Demi mempertahankan tanahnya yang dikuasai perusahaan sawit di daerah itu. Bertahun ia dan suaminya Pak Natu melakukan perlawanan terhadap korporasi yang di belakangnya berdiri kekuatan negara yang membuat Ibu Samria pasrah menghadapi berondongan peluru seorang diri. Tanpa sesiapa pun itu, sangat sedikit yang bersimpati padanya. Apa lagi mengharapkan aparat negara yang berempati pada nasibnya.
Ibu Samria harus menghadapi kesialan lain. Ia diproses di pengadilan. Dengan tuduhan merusak kaca jendela kamp perusahaan. Di Kabupaten Donggala ada Dion yang bertahun di rumahnya yang lebih menyerupai gubuk dengan sakit yang diidapnya. Ia baru mendapat perhatian setelah ditulis media. Fakta lainnya, Zainudin seorang petani miskin yang sakit-sakitan di Desa Tinauka, Kecamatan Rio Pakava, Donggala, tanah mereka diserobot para spekulan yang rakus lahan.
Di Toili, Samria dan suaminya mempertahankan hak tanahnya sejak 2004.
Di Kawatuna, Ibu Wati menjalani pekerjaan memilah sampah sejak 2011.
Di Donggala, Dion sudah hajar sakit dan tinggal di gubuk sejak 2016. Zainudin dan kawan-kawannya di Desa Tinauka, tak ada memedulikannya.
.
Pilkada, pilpres dan pemilu legislatif sudah berlangsung beberapa kali. Dengan melahirkan pemimpin-pemimpin yang mengucap sumpah di hadapan rakyat dan Tuhannya, untuk mengurusi orang-orang tak beruntung di daerah ini. Namun orang-orang seperti Ibu Wati, Ibu Samria dan Dion, Pak Zainudin tak jua diurus. Ibu Wati perempuan pemungut sampah mengaku namanya tercatat dalam data kemiskinan. Tapi sekadar tercatat saja. Tidak lebih. Nama-nama mereka hanya ada dalam daftar tebal dokumen orang miskin yang tersusun rapi di rak-rak lemari kantor pemerintah.
Gubernur berganti.
Wali kota/bupati diganti.
Pejabat teknis yang mengurusi kemiskinan, berganti nyaris tak kenal musim.
Datang silih berganti.
Namun pergantian itu tak kunjung membuat kehidupan orang orang susah menjadi agak baik. Bahkan kesusahan yang menghimpit semakin dalam. Saat mata pencaharian makin susah diperoleh. Harga barang makin tak terjangkau – uang yang makin kecil nilainya bahkan makin sukar didapat.
Desember, pengujung tahun ini ada delapan pemilihan kepala daerah mulai kabupaten/kota dan provinsi akan menggelar pemilihan kepala daerah. Kita kembali memilih pemimpin baru. Setelah lima tahun menyelesaikan janji kampanye. Ada yang bakal maju mengadu peruntungan politik pada periode kedua, karena merasa sangat berhasil pada periode pertamanya.
Ada pula pendatang baru. Bersaing mencoba peruntungan politiknya. Siapa pun kandidat-kandidat itu. Entah wajah lama – petahana. Atau kandidat baru. Satu yang pasti, mereka akan kembali berjanji akan melakukan ini. Dan melakukan itu. Akan ini. Akan itu. Seabrek janji yang kita pun sudah tahu kelak endingnya seperti apa.
Hari hari ini dan beberapa waktu kedepan, para politisi akan sangat rajin menemui siapapun. Mereka mendatangi pemulung, nelayan, petani. Mendatangi paguyuban. Melobi tokoh ormas. Dan berusaha sedekat dekatnya dengan tokoh rohaniawan. Menyetor senyum terbaik, menata lagak paling ramah. Mereka memutar lagu lama. Mengumbar berjuta janji. Bahkan apa yang dikemukakan pada kampanye, sebenarnya ulangan apa yang dijanjikan lima tahun lalu.
Janji ini janji itu.
Bakal menurunkan kemisikinan.
Bakal menaikkan kesejahteraan rakyat.
Bakal menciptakan lapangan kerja.
Bakal ini. Bakal itu.
Gampang memberi janji. Enteng pula mengingkarinya. Janji menguap. Seiring kursi diraih dan kuasa dalam genggaman. Politik sebagai sebuah sistem nilai, ia netral. Ia tidak salah. Politik dipahami sebagai jalan kemuliaan yang dampak kebaikannya, dahsyat bagi kehidupan banyak orang. Politik adalah instrumen yang efektif untuk mengantar sebuah bangsa dalam kehidupan yang lebih baik. Sejatinya seperti itu.
Tapi kenyataannya tidak demikian. Itu bukan karena politiknya yang buruk. Tapi politisinya yang brengsek. Tidak semuanya busuk. Bahwa, ada satu dua yang kurangajar itu adalah fakta yang sudah banyak terlihat di panggung politik kita. Tidak kehitung lagi banyaknya, artikel di surat kabar yang melaporkan politisi dari penjuru negeri yang tidak beres. Mulai yang gemar ngemplang uang dari kas negara. Bawa bini orang. Mabuk dan gemar nyabu. Hingga suka main mata dengan pengusaha hitam membabat hutan, merampas tanah – dll.
Karena itu, memercayai secara utuh omongan politisi adalah sebuah kekeliruan untuk tak menyebutnya sebagai kesalahan. Dengan rekam jejak yang gemar ingkar, suka lupa banyak persoalan mendasar umat dan bangsa, sewajarnya kita menyisakan sedikit ketidakpercayaan pada para politisi. Sikap tidak percaya ini sangat penting. Setidaknya, kita masih mempunyai cadangan ketidakpercayaan untuk menagih kembali janji yang sudah terucap.
Bahaya jika kita memberi 100 persen kepercayaan pada omongan politisi. Atau kita menyebutnya fanatik buta. Siapa pun kita tentu tidak ingin membiarkan diri kita remuk dan rapuh bersama, saat politisi tersebut akhirnya salah jalan. Lalu berakhir menjadi bulan bulanan publik. Dicibir karena banyak kebijakan yang salah urus. Karena itu, menyisakan deposit ketidakpercayaan pada politisi dari partai apa pun seganteng apa pun tetaplah penting.
Karena itulah,
Demi janji yang tak tunai.
Demi dusta yang terucap di mimbar-mimbar kampanye.
Demi hutan yang gundul karena obral izin pembabatan hutan.
Demi Ibu Wati yang tak pernah beranjak dari nasib tak beruntung.
Demi Ibu Samria yang dirampas paksa tanahya. Demi Pak Zainudin yang tanahnya diserobot.
Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, kita punya otoritas untuk menentukan sikap sendiri. Untuk memilih mereka atau mencampakkannya di TPS kelak. Cukup sudah.
Kita juga punya pengalaman yang lumayan panjang dalam sejarah memilih pemimpin secara langsung di negeri ini. Kita telah menyaksikan betapa suara-suara di setiap TPS itu, tidak hanya membawa perbedaan suara antarkandidat. Tetapi kita juga harus menentukan seperti apa wajah daerah ini kedepannya, dengan bersikap kritis para politisi yang lenggak-lenggok di panggung kampanye. Memberi suara dalam pemilu merupakan tindakan sederhana namun efektif – sebut Michelle Obama dalam bukunya Becoming. Tapi tetaplah waras. Jangan fanatik buta. Pilihlah yang patut diduga membawa maslahat bagi publik. Walau bagi sebagian orang, masih ada lagi opsi lain. Memilih untuk tidak memilih (golput). Sebagai sebuah hak, sikap ini sah. Harus dihargai. Jangan dicemooh.
Penulis: Amanda