JARUM jam menunjukkan pukul 15.24 wita. Cahaya matahari melintas di garis ekuator, terasa tak cukup garang. Cahayanya seolah terhalang tirai tipis yang menggelayut manja di atas pemukiman warga. Debu sisa gilasan mobil pengangkut material, meninggalkan jejak karbon dari corong pembuangan meraung, membuat suasana siang itu bak kabut yang mengundang hujan.
Di tengah suasana langit yang berkabut, di atas jalanan sempit, ratusan orang lalu lalang memadati jalan utama. Pekak deru motor yang dikendarai buruh memadati jalan yang disesaki penjual barang campuran dan kios-kios. Penjaja makanan serta plang dari bank-bank ternama yang menawarkan jasa layanan cepat, mencuat tak beraturan memenuhi sisi jalan.
Di antara ratusan kios, menyembul seorang ibu muda. Ia menggunakan kerudung bercorak krem polos. Di tangannya menggenggam kemoceng menghalau debu kehitaman yang menutupi aneka jualannya. Ia nyaris tak pernah istirahat. Kemoceng warna jingga, tampak tak lepas dari genggamannya.
Tangannya tampak cekatan mengibas tumpukan baju maupun kaos yang bergelantungan di langit-langit. Bersamaan dengan kibasan kemoceng, debu beterbangan meninggalkan tumpukan pakaian di sana-sini. ‘’Mari masuk silakan duduk, maaf banyak debu,’’ sapanya ramah.
Dia adalah ibu Sirah. Warga Desa Ambunu Kecamatan Bungku Barat Kabupaten Morowali. Ibu dua anak ini, sehari-hari berjualan pakaian dan barang campuran serta usaha kuliner dan jasa pencucian pakaian. Ibu Sirah tampak kegerahan. Peluhnya mengucur.
Padahal suasana langit di atas Desa Ambunu sore itu, tampak berkabut. Tidak ada sinar matahari yang menyengat. ‘’Begini suasana kampung kami tiap hari. Ini bukan kabut. Tapi ini debu dari PLTU itu,’’ ujarnya sambil menunjuk bangunan tinggi menjulang, yang berjarak tak sampai 100 meter dari kediamannya.
Tetangganya di kanan kiri, tampak mulai akrab dengan partikel debu atau materi partikulat (PM) yang tiap saat menghinggapi perabotan mereka. Partikel PM fragmen yang sangat kecil tersuspensi ke udara dan tidak terlihat oleh mata telanjang.
Tetapi melayang dimana-mana di lingkungan terdekat. ‘’Kita liat ini seperti kabut, kayak mau hujan. Tapi bukan. Itu debu dari PLTU milik perusahaan,’’ rinci Ibu Sira kepada kami yang mendatanginya di kediamannya di Desa Ambunu, Rabu 23 Oktober 2024.
PLTU MULAI MAKAN KORBAN
Ibu Sira, seorang ibu muda bersama keluarga kecil punya impian untuk menata hidup di kampungnya. Seperti keluarga pada umumnya, ia bersama suami, ingin menghadirkan kehidupan dan masa depan yang indah untuk dua anaknya.
Punya usaha bisnis busana dan barang campuran serta usaha kuliner, keduanya yakin masa depan yang indah bakal tak menemui kendala. Tapi kehidupan yang sudah dirancang rapi oleh keluarga kecil itu, ternyata menghadirkan petaka yang membuat hidupnya limbung. Ia tak sanggup menyaksikan anak sulungnya terkulai lemas, dan mengonsumsi 20 macam obat dalam sekali tenggak.
Pada suatu siang, di tahun 2022, saat anak sulungnya Sarif Rasmawan, berusia 3,7 tahun mengalami gejala yang tak biasa. Anak sulungnya mengalami sesak napas diselingi air liur yang terus keluar dari mulut. Sehari sampai 15 kali ganti baju, basah oleh air liur.
Naluri Sang Ibu tak sanggup menyaksikan penderitaan anaknya. Hatinya remuk redam mengalami peristiwa yang tak diduga itu. Ia membawa anaknya di RSUD Morowali di Kota Bungku. Hasil diagnose, sang anak mengalami ISPA (inpeksi saluran pernapasan akut).
Penyebabnya, penderita terpapar debu dalam waktu yang lama. ‘’Saya sudah berani bilang penyebabnya debu dari PLTU milik perusahaan ditambah lagi debu perusahaan yang mengangkut material,’’ katanya tegas.
Sesaat kemudian, Ibu Sira kemudian menyingkap tirai di belakang rumahnya. Dari jarak 100 meter tumpukan material tampak menggunung. Truk-truk besar yang mengangkut material menghasilkan debu yang secara konsisten menyerbu rumah-rumah warga yang hanya berjarak sepelemparan batu.
Di bagian barat, tampak smelter berdiri angkuh. Lalu lalang alat berat dengan truk besar menggilas jalanan menghasilkan debu yang sekilas bak kabut tebal. ‘’Ini semua yang bikin kami di sini kena sakit pernapasan,’’ ujarnya ketus.
Hari-harinya terus dihabiskan bolak balik ke rumah sakit. Namun tidak ada perubahan signifikan terhadap kondisi anaknya. Ia merindukan senyum ceria anak sulungnya yang tersiksa akibat sakit yang ditinggalkan oleh polusi dari cerobong PLTU. Ia mengaku, setiap sujud sholatnya, selalu berharap memeluk kembali tubuh buah hatinya dalam keadaan sehat.
Merasa tak puas dengan pelayanan dokter, ia membawa anaknya berobat di kampung orang tuanya di Sengkang – Sulawesi Selatan. Hasilnya, nihil. Pada 2023, bolak balik Morowali dan Sengkang, tapi sakit anaknya makin parah.
Pernah, ia tertegun melihat tumpukan obat yang datang dari dokter hingga 20 macam. ‘’Mulai puyer, sirup hingga tablet. Semua harus diminum,’’ katanya mengenang. Obat-obat itu semuanya dia buang. Tak satupun yang diminum. ‘’Bagaimana bisa anak usia 4 tahun minum obat sampe 20 macam,’’ katanya heran.
Pengobatan di Sengkang menurut dia, tidak memberi dampak signifikan. Hingga kemudian, anaknya dirawat kembali di RSUD Morowali selama seminggu. Seiring dengan itu, anaknya berangsur membaik. Kini, bocah berusia 5 tahun terdaftar sebagai murid TK Pembina di Desa Tondo. Namun akibat digerogoti debu PLTU membuat imun anaknya kini turun drastis.
Bahkan, adiknya pun menderita gejala yang sama. Kini, di rumah kediamannya dalam sehari lima kali mengepel. Debu menempel di sana sini. Busana jualan harus dicuci terlebih dahulu agar laku. Akibatnya, untung makin menipis karena harus menanggung biaya cuci.
Ia tak mengira kehadiran investasi di kampungnya, justru menghadirkan horor bagi kehidupan keluarga kecilnya. Menurut Ibu Sira, investasi yang oleh mulut pemerintah diklaim membawa keseahteraan justru menjadi mesin pembunuh bagi warga yang tak berdaya seperti dirinya. Pemerintah sebut dia, memberi karpet merah pada investasi nikel yang dinilainya sebagai perusak peradaban di kampung tempat tinggalnya.
RATUSAN SISWA TK DAN SD IKUT TERANCAM PLTU PT IHIP
Tak jauh dari Desa Ambunu, tepatnya di Desa Tondo, berdiri sebuah sekolah TK Pembina. Gedung sekolah ini hanya berjarak beberapa ratus meter dari PLTU. Sekolah yang mendidik 155 murid itu pun tak luput dari ancaman PLTU milik Indonesian Huoabao Industrial Park (PT IHIP).
Kepala Sekolah TK Pembina, Halimah mengaku sejak kehadiran PLTU asal China tersebut, proses belajar mengajar menjadi terganggu.
Gedung berkelir biru yang ditempati hanya mengandalkan ventilasi untuk sirkulasi udara. Namun sejak kehadiran PLTU yang menyemburkan debu kehitaman hingga di ruang kelas, semua ventilasi ditutup dengan plastik transparan. Akibatnya, suasana kelas menjadi gerah dan panas.
Empat buah kipas angin yang ditempatkan di sudut-sudut kelas tak cukup membantu untuk membuat ruang kelas menjadi nyaman. Semua guru mendapat tugas tambahan. Menyapu kelas hingga tiga kali. ‘’Anak-anak bermain di halaman sekolah dibatasi menjadi hanya 15 menit dari sebelumnya 30 menit,’’ ujar Halimah.
Ia mengaku, pada forum Musrembang sekolahnya pernah mengusulkan agar perusahaan memberikan kompensasi kepada sekolah walau sebatas pembagian masker. ‘’Tapi usulan itu tidak pernah dihiraukan,’’ katanya.
Pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Morowali pun, sejauh ini belum memberikan perhatian terhadap anak-anak yang keselamatannya terus terancam itu. Anak-anak kecil di taman kanak-kanak, yang seharusnya menikmati udara segar dan tawa riang, kini belajar di bawah langit kelabu yang terpapar polusi dari PLTU Batubara dan industri tambang.
Di balik tawa dan keceriaan mereka, ada keheningan yang penuh harap, bahwa suatu hari nanti mereka akan bisa menghirup udara yang bersih dan bermain tanpa bayang-bayang debu dan asap.
Meski kecil dan belum memahami semuanya, mereka adalah generasi yang belajar tentang kekuatan harapan dan hak untuk lingkungan yang sehat.
Ancaman yang sama juga mengintai siswa di SD Negeri Tondo, letaknya sekompleks dengan TK Pembina. Salah seorang guru yang ditemui mengaku, sekolahnya terpaksa menyewa jasa untuk membersihkan debu hitam di kelas.
Siswa di sekolah tidak bisa lagi diandalkan untuk membersihkan kelas dari serbuan debu. ‘’Kami terpaksa alokasikan dana sekolah untuk bayar cleaning service. Selama ini cukup anak-anak yang bersihkan kelas pagi-pagi. Sejak ada PLTU, tidak bisa lagi, nanti jam belajarnya terganggu,’’ ungkap guru yang meminta namanya tidak ditulis.
Tak hanya di Kecamatan Bungku Utara, nun jauh di sana di Dusun Kurisa, Desa Fatufia Kecamatan Bahodopi, seorang warga bernama Hanisa (50), mengaku tak berdaya menghadapi kekacauan hidup pasca hadirnya infrastruktur di kawasan Indonesian Morowali Industrial Park (IMIP).
Ibu tunggal dengan satu anak ini mengaku, air berwarna kekuningan menyebabkan tubuhnya gatal-gatal. Air tidak bisa dikonsumsi. Mereka terpaksa mengonsumsi air galon yang harganya terus menanjak, kini mencapai 7 ribu per galon.
Sebagai ibu tunggal, Hanisa mengandalkan kehidupannya dari jualan kue. Jika sebelum kedatangan raksasa nikel di wilayahnya, ia menghidupi keluarga kecilnya dari hasil laut. Kini ia beralih profesi menjadi penjaja kuliner dengan ancaman penyakit yang menyembur dari kawasan industri berupa buangan debu fly ash PLTU dan limbah yang terus menerus mengepung lingkunga mereka.
‘’Saat ini tidak ada alternatif lain selain bertahan, dengan debu dan air serta lingkungan seperti ini,’’ curhatnya di depan penulis, Sabtu 26 Oktober 2024. Fly ash atau abu terbang adalah material sisa pembakaran batu bara yang berbentuk butiran halus, salah satu limbah padat yang dihasilkan dari pembakaran batu bara di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU)
Demi memenuhi kebutuhan anaknya, ia harus berjuang di tengah lingkungan yang penuh asap dan debu beracun, yang setiap hari merusak paru-parunya dan mengancam nyawanya. ‘’inginnya mau pindah tapi pindah dimana, bagaimana saya nanti bikin rumah, bagaimana nanti yang lain-lainya,’’ katanya trenyuh.
PEMERINTAH DESA TAK BERDAYA
Sekretaris Desa Tondo, Almubarak mengaku tidak berdaya menghadapi sikap ugal-ugalan perusahaan. Padahal, banyak aspirasi dan kepentingan warga yang perlu diperjuangkan terhadap perusahaan. Sejak beroperasi dua tahun lalu, PT IHIP cenderung banyak menghadirkan masalah bagi warga.
Sejak kehadirannya,`rata-rata warga di desanya ungkap Mubarak mengalami mata merah dan batuk serta gatal-gatal. ‘’Sebelum PLTU berdiri, tidak ada gejala penyakit warga seperti itu.
Tapi sejak dua tahun lalu, sejak PLTU beroperasi, jumlah orang yang mengalami mata merah dan gatal-gatal makin banyak,’’ jelasnya.
Sebenarnya, warga desa terkecoh dengan klaim perusahaan. Awalnya, perusahaan mengaku hanya membuat jeti (dermaga untuk pemuatan ore). Tapi belakangan perusahaan tak hanya membangun jeti tapi ikut mendirikan PLTU.
‘’Terus terang kami kaget. Kenapa tiba-tiba PLTU yang berdiri padahal dibilang pelabuhan jeti,’’ jelasnya. Sikap ingkar perusahaan ini juga dibenarkan warga di Desa Tondo dan Desa Ambunu. ‘’Kita taunya pelabuhan jeti, begitu yang dibilang orang perusahaan. Tapi malah PLTU yang berdiri,’’ geram Arfan seorang nelayan yang kini alih profesi setelah tambatan perahunya diokupasi oleh PLTU PT IHIP untuk lokasi PLTU.
Lebih jauh Sekretaris Desa Tondo Almubarak menambahkan, perusahaan perlu menunjukkan komitmennya untuk perlindungan warga terdampak.
Setidaknya menurut dia, ada pembagian masker gratis dan pengobatan gratis secara berkala. Mengingat kehadiran perusahaan telah memberikan dampak buruk yang serius pada masyarakat di sekitar desanya.
Sejauh ini menurut dia, kompensasi atas dampak yang dialami masyarakat sangat tidak sepadan bahkan bisa dikatakan tidak ada. Perusahaan hanya menyiram badan jalan dua kali sehari.
Penyiraman badan jalan dimaksudkan untuk mengurangi debu. Kemudian perusahaan membagikan tempat penampungan sampah yang terbuat dari drum yang dimodifikasi. Dan beberapa unit motor triseda untuk mengangkut sampah ke tempat pembuangan akhir.
Bantuan yang diklaim sebagai Corporate Social Responsibility (CSR), menurut Almubarak tidak relevan dengan dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh PLTU.
Sayangnya, pemerintah desa merasa tak berdaya menghadapi dominasi industri tambang yang beroperasi di wilayahnya. Segala upaya mereka untuk menyampaikan permintaan dan rekomendasi demi menjaga kelestarian lingkungan serta kesejahteraan warga tak mendapat tanggapan.
Semua itu, seakan hilang begitu saja. Perusahaan tambang itu berjalan tanpa kendala karena memiliki dukungan penuh dari pemerintah pusat, membuat suara pemerintah desa tenggelam di tengah kepentingan elit kekuasaan.
SEJAK KEHADIRAN PLTU, PENDERITA ISPA TERUS MELONJAK
Kepala Tata Usaha Puskesmas Wosu, Bungku Utara, Armawaty Insani SKM, mengatakan sejak tiga tahun terakhir, lonjakan penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Bungku Utara terus melonjak.
Terutama sejak kehadiran industri smelter milik PT IHIP berikut PLTU Batubara yang dibangun di tengah pemukiman warga. Lonjakan kasusnya terjadi di beberapa desa terdekat dengan PLTU batubara dan smelter PT IHIP, yakni Desa Ambunu, Tondo dan Topagaro hingga Desa Wosu.
Data penderita ISPA di Puskesmas Wosu, sejak Januari – September 2024, berjumlah 948 orang. ‘’Ini yang tahun 2024 saja ya, bukan tahun-tahun sebelumnya,’’ katanya mempertegas.
Pasien ISPA yang terdata tersebut, rentang usia antara 9 – 60 tahun. Jumlah ini menurut dia, belum termasuk penderita yang berobat di dokter praktek baik di Desa Ambunu, Topagaro dan Desa Tondo maupun sejumlah desa terdekat dengan lingkar industri tambang.
Ia memperkirakan jumlahnya ribuan orang. Karena, selain yang tidak melapor ada pula yang memilih berobat mandiri dengan hanya membeli obat di apotek. Ia menegaskan, sebelum kehadiran smelter dan PLTU, jumlah penderita ISPA masih dibawah jenis penyakit lainnya.
Insani mengatakan, sejak kehadiran PLTU Batubara, kini ada keluhan yang nyaris sama dialami warga di sekitar lokasi bangunan PLTU. Saat bangun tidur, lubang hidung berwarna hitam pekat yang berasal dari partikel debu dari cerobong PLTU.
Setelah itu diikuti oleh keluhan lainnya – yang kesemuanya itu mengarah pada ISPA. Bahkan kata dia, penderita pneumonia – penyakit yang dipicu oleh ISPA kini jumlahnya terus bertambah di Puskesmas Wosu.
Dikutip dari web Kementerian LHK, Pemerintah Indonesia menetapkan ambang batas sehat partikel debu adalah 2,5 maksimal 50 ug/m3. Sedangkan dalam katagori internasional, PM 2,5 136 ug/m3 itu termasuk dalam kategori tidak sehat untuk kelompok rentan.
Namun menurut Insani, sejauh ini belum ada pemeriksaan tentang partikel debu yang disemburkan dari cerobong pembuangan PLTU PT IHIP yang terletak di Desa Tondo. Sementara data dari Dinkes Kesehatan Sulteng yang dirilis pada 9 Oktober 2024 lalu, prevalensi penderita ISPA pada 2023 di Bahodopi berjumlah 55. 527 pada tahun 2023. Saat ini hingga triwulan tiga tahun 2025, mencapai 46.793 kasus.
Lebih jauh Insani mengatakan, upaya preventif yang dilakukan perusahaan sangat tidak relevan untuk meminimalkan dampak PLTU. Perusahaan hanya menyiram badan jalan dua kali sehari dinilai sebagai upaya yang tidak akan memberi dampak apa-apa terhadap kesehatan masyarakat di lingkar industri tambang.
Armawaty Insani dan kawan-kawannya terus berupaya melakukan tindakan pengobatan warga pedesaan yang terusik oleh asap dan debu industri. Mereka hadir untuk menghadapi lonjakan penyakit yang kian menggerogoti kesehatan warga.
Mereka mengobati tubuh yang lemah dan meredakan napas yang sesak. Di balik masker dan alat medis, para tenga kesehatan di Puskesmas Wosu, tak berhenti memberi harapan pada setiap jiwa yang lemah karena dampak dari energi kotor dan tambang yang terus mengaburkan langit desa.
IRONI PLTU PT IHIP DAN EGOISME KAPITALISME
PLTU Batubara milik PT IHIP yang terletak di tengah pemukiman warga, sejatinya bisa berbagi dampak baik, tidak hanya menyemburkan debu beracun yang mematikan. Harapan itu dikemukakan Ibu Hasbiah (47) warga Desa Tondo.
PLTU dengan bangunan menjulang tampak mencolok saban hari terus menghasilkan energi dengan kapasitas 117 MW. Namun dalam sepekan warga kerap mengalami mati listrik. ‘’Itu PLTU hanya abunya saja kita dapat.
Tapi perusahaan tidak mau baku bagi terangnya,’’ ungkap Ibu Hasbiah kesal. Kekesalan ibu dua anak ini, tampak masuk akal. Pasokan listrik di wilayah ini kadang terganggu yang menyebabkan terjadinya pemadaman bergilir.
PT IHIP selaku pemilik pembangkit energi tidak berbagi dengan warga setempat dan hanya mengalirkan energi untuk kepentingan smelter. Husein (40) warga Desa Topagaro, mengaku perusahaan sangat egois.
Mereka sudah menderita debu, asap dan bising mesinn PLTU namun mereka tak sedikitpun mendapat pasokan energi. ‘’Perusahaan sangat egois,’’ katanya dengan nada tinggi.
Bapak dua anak yang terpaksa beralih profesi menjadi pemecah batu, setelah akses nelayan ditutup bangunan PLTU mengaku, mereka dibohongi. ‘’awalnya katanya mau bangun jeti tapi yang berdiri malah PLTU,’’ ujarnya ketus.
Menurut dia, debu yang keluar dari cerobong (fly ash) dibuang pada subuh hari saat warga masih belum beraktivitas. Ia mendapat bocoran informasi tersebut dari sejumlah koleganya yang mengetahui praktek tersebut. Atau, dibuang saat hujan turun.
Saat malam menyelimuti desa dan warga sedang terlelap, PLTU batu bara diam-diam menjalankan praktik curangnya. Asap dan polusi dilepaskan ke udara dalam gelap.
Menyatu dengan malam yang sepi. Seakan menyembunyikan dosa dari mata yang terpejam. Di balik ketenangan malam, udara tercemar perlahan menyusup ke rumah-rumah.
Mengancam kesehatan tanpa suara. Mencuri hak hidup sehat dari mereka yang tak menyadari bahaya yang datang justru di saat mereka sedang bermimpi. ***
Penulis: Yardin Hasan
Artikel ini republikasi dari website WALHI Sulteng, dengan judul yang sama