Lingkungan

Telaga Tambing, Vandalisme dan Pengunjung Alai

TEMPAT TIDUR GANTUNG - Pengunjung mengikat tempat tidur gantung (hammock) di pohon leda yang mestinya dilarang

ALAM seperti halnya ibu. Bagi sebagian orang, ia menjadi pelarian terbaik saat semangat hidup sedang dititik nadir. Bersamanya mereka berkeluh kesah akan himpitan hidup yang mendera. Bersama alam seseorang merasa mendapat suntikan baru, meraih kembali optimisme dalam hidupnya. Selaksa rasa melebur di sana. Tuhan menyiapkan semesta alam beserta isinya untuk semua makhlukNya.

Lalu di bawah planet, hadir orang-orang hebat super jenius, menghadirkan teknologi paling maju di zamannya.

Mark Zukerberg mendirikan facebook.
Kevin Systrom dan Mike Krieger membuat instagram.
Jack Dorsey membangun twitter.
Brian Acton menciptakan WhatsApp.

Namun di tangan orang-orang yang sedang menuju proses pendewasaan alias alay, mahakaraya agung maupun kreasi teknologi paling mutakhir, dianggap tidak cukup bahkan tidak ada apa-apanya. Orang-orang yang ingin eksis dan mengejar pengakuan merasa tak cukup memanfaatkan teknologi mutakhir. Malah melakukan tindakan-tindakan lebay bin norak.

Perlakuan pengunjung pada pohon leda atau eucalyptus deglupta blume, adalah salah satu contohnya. Pohon ini salah satu tumbuhan endemik yang dilindungi di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Tumbuhan ini terus dilestarikan. Tak hanya manfaatnya yang kerap digunakan para tabib untuk pengobatan tradisional atau keberadaannya sebagai penyeimbang ekosistem. Tapi juga mampu menghadirkan keindahan.

Selama ini, orang orang hanya meyakini kehadiran pelangi saat hujan mereda. Tapi pohon leda dengan keajaibannya mampu menghadirkan paduan warna nan apik bak pelangi. Kelopak kulit yang mengelupas meninggalkan batang inti membentuk ornamen warna unik yang keindahannya nyaris setara pelangi.

INDAH – Paduan warna yang indah dihasilkan dari pohon leda -Eucalyptus deglupta blume. (f-tgc.lk.ipb.ac.id)

Mengutip laman tgc.lk.ipb.ac.id, pohon ini satu-satunya spesies eucalyptus yang ditemukan secara alami di belahan bumi utara. Penyebaran alaminya meliputi Britania Raya, Papua Nugini, Pulau Seram, Pulau Sulawesi dan Mindanao (Filipina).

Di Sulawesi Tengah, selain di kawasan Telaga Tambing TNLL, pohon ini bisa ditemui di Desa Toku – Kecamatan Balantak Utara – 700-an kilometer arah timur Kota Palu. Di balik keindahannya, pohon leda bisa diolah untuk minyak atsiri. Dan satu lagi menjadi penyeimbang ekosistem – mampu meresap air tanah, tempat bertenggernya burung burung langka serta penyanggah tanah agar tetap solid.

Namun sekali lagi abaikan keindahannya.
Lupakan kegunaannya.
Jangan pikirkan manfaatnya sebagai penyanggah ekosistem.

Bagi abege tanggung yang mengejar pengakuan atau pencinta alam dengan modal nonton Film 5 Cm dan tayangan My Trip My Adventure, mereka dengan tanpa beban menjadikan pohon-pohon ini sebagai sasaran vandalisme.

PENUH TULISAN – Pohon leda disampingnya ada plang larangan menulis pohon

Amril Moesa pemerhati sosial pada diskusi di Palu, beberapa tahun lalu, menyebut Film 5 Cm dan tayangan My Trip My Adventure, memberi pengaruh besar terhadap animo warga menjadi petualang. Tanpa latihan fisik dan pengetahuan yang memadai, banyak dari kelompok ini yang mendaki bertujuan untuk mengambil swafoto (selfie) dan pamer ke publik – melalui instagram dan facebook.

Pengetahuan yang minim itu, membuat sikap norak susah direm. Pohon-pohon menjadi sasaran menulis ungkapan hati yang miskin makna. Pohon langka yang mestinya dijaga, menjadi medium untuk memproklamirkan momentum jadian pasangan yang sedang mabuk kepayang karena sedang dinaungi Dewi Amor. Atau sekadar menulis deretan jumlah para mantan yang ditulis dengan tegas. Diujungnya tak lupa dibumbui tanda hati retak. Soal kebenaran klaim-klaim itu hanya penulis dan Tuhan yang tahu.

Inilah kenapa karya teknologi informasi mutakhir, yang ditemukan, Mark Zukerberg, Kevin Systrom, Jack Dorsey dan Brian Acton seolah tidak cukup. Bahkan tidak berguna. Orang-orang ini ternyata masih menyasar pohon, untuk eksis dan mengejar pengakuan. Menoreh nama seolah menjadi pentahbisan bahwa mereka telah melakukan pencapaian paling keren dalam sejarah petualangan mereka. f***ck.

Simak saja tulisan tulisan ini.

Hai gaes….sekarang aQ and my yayank nyampe di puncak.
(padahal mungkin baru turun dari motor sambil ngemut es krim)

Atau….

Jaga hubungan kami ya Rabb
(Yang begini, cukup dalam hati saja, tidak perlu dipahat di pohon. Atau tulis di FB kek)

PENUH LUKA – Pohon leda penuh dengan ukiran nama dan ungkapan perasaan

Mengutip Amril Moesa kembali, film itu ikut memicu maraknya petualang dadakan. Kisah hubungan melankolis Pevita Pearce dan Fedi Nuril di film ini, mengilhami ABG dan pemuda tanggung – ikut menenteng peralatan mendaki tanpa dibekali fisik dan pengetahuan yang memadai. My Trip My Adventure yang tayang di TV swasta dicopy paste mentah-mentah – seolah berpetualang segampang menyetop mobil pikap nangkring di atasnya. Lalu turun lagi menyambung ke perjalanan berikutnya. (DO – sebutan orang Palu).

Pengelola arena Camping Ground (Bumi Perkemahan) Telaga Tambing, bukannya tak melarang pengunjung melakukan aksi coret. Protokol kunjungan Telaga Tambing yang memuat 18 butir tidak memberikan ruang terjadinya vandalisme di sekitar kawasan konservasi itu. Poin 16 tegas sekali. Pengunjung tidak diperkenankan melakukan aksi coret-coret di pohon, batu atau bangunan. Diikuti poin 17 yang melarang memasang tempat tidur gantung (hammock) di pohon leda.

Namun aturan-aturan itu diabaikan begitu saja. Pengunjung begitu gampangnya mengikatkan tidur gantung sesuka hatinya. Larangan itu seolah tak berarti apa-apa.

Saat ini, otoritas TNLL merilis aturan baru. Pengunjung tidak diperkenankan membawa speaker dan gitar. Suara pekak speaker dan alunan gitar yang meriung secara sporadis menurut Herman Siasa, Kepala Seksi Wilayah III Tongoa, mengganggu burung yang saban pagi berkicau di sekitar Telaga Tambing. Karena pertimbangan itu pula, otoritas TNLL sedang mempertimbangkan untuk mengurangi jumlah pengunjung dari 750 – 1.000 orang menjadi 400 atau 500 pengunjung saja. Pertimbangannya agar habitat di kawasan hutan lindung tetap terjaga.

PAPAN LARANGAN – Di Camping Groun terdapat dua papan informasi seperti ini tentang larangan bagi pengunjung, namun diabaikan

Soal sanksi, Herman mengaku bagi pelanggar yang ketahuan melakukan vandalisme akan diberi teguran yang bersifat pembinaan. ”Ya baru sebatas teguran pembinaan,” katanya. Di pohon leda yang jadi coretan ungkapan kata hati, tertulis plang imbauan untuk tidak mencoret-coret pohon. Tapi tetap saja larangan itu seperti tak berguna.

Itulah realitas kita hari ini. Tak mampu merebut perhatian sesama homo sapiens, lalu mengejar pengakuan pada mahluk hutan, kepompong, soa-soa, paniki, kecebong, babi hutan dll.***

Salam lestari!

Salam hijau!

Salam rimba!

Save nature gaess. No vandalism

 

Penulis    : Amanda
Foto         : Amanda

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan