Serba Serbi

Moapu Cara Bijak Menjaga Eksistensi Pangan Lokal

PANGAN DARI DESA - Jeni (tengah) dan kawannya sibuk menyelesaikan masakan saud di lokasi festival Jumat 11 November 2022.

FESTIVAL Mosintuwu 2022 menghadirkan parade cita rasa kuliner yang dibawakan para koki jagoan dari kampung-kampung. Gelaran bertajuk Moapu yang berarti memasak dalam bahasa Pamona, adalah parade meracik rempah dan bahan pangan lokal dari kediaman masing di 18 desa peserta festival.

Tanah Poso telah menghasilkan aneka jenis kuliner yang beragam. Kebudayaan kuliner yang diwariskan telah membentang panjang, mengarungi ruang dan waktu. Ia harus terus dijaga tak semata soal cita rasanya. Tapi demi eksistensi pangan lokal di desa. Setidaknya begitu semangat yang diusung atraksi Moapu di festival ini. Mengamati bahan dasar yang diolah para koki dari kampung itu, premis di atas tampak benar adanya. Ini juga dibenarkan Jeni (41). Seorang peserta Moapu dari Desa Meko Kecamatan Pamona Barat. Mereka kata Jeni, hanya boleh mengolah pangan yang diangkut dari desa masing-masing.

Sore itu, Jeni dibantu dua kawannya, nyaris tidak bisa merampungkan masakannya. Bias hujan di bangunan Tambi yang tak berpintu itu, menyulitkan mereka untuk sekadar menyalakan kompor. Sejatinya, atraksi memasak digelar di depan panggung utama. Namun hujan yang tak kenal ampun, memaksa ibu-ibu lincah ini mengemasi barangnya dan kembali ke Tambi masing-masing.

Di balik Tambi, sore Jumat 11 November 2022, Jeni dan kawannya tampak mengupas batang pisang hingga menyisakan bagian inti berwarna putih sebesar lengan orang dewasa. Dua temannya membersihkan rempah daun. Antara lain kemangi, kemiri, serai, daun jeruk dan beberapa rempah daun yang terlihat asing. Kuliner tradisional ini namanya saud. Inti batang pisang diiris sehalus mungkin, lalu dicuci dan diperas untuk menghilangkan rasa sepet yang melekat.

Lima belas menit kemudian, langit di atas lokasi festival, mulai terang. Awan hitam berarak menjauh dari tempat festival. Ade Iin Hokkey host yang memandu jalannya Moapu meminta peserta kembali di titik yang sudah ditetapkan panitia. Jeni dan dua rekannya, menggunakan kostum warga ungu bergegas menuju titik yang ditentukan.

Masakan mereka sudah nyaris rampung. Berikutnya tinggal menyelesaikan kudapan. Moapu kali ini panitia mewajibkan dua jenis masakan. Yang satunya adalah kudapan. ”Kudapannya berbentuk martabak tapi bahannya full lokal tidak ada produksi pabrik kecuali micin,” rinci salah satu rekannya.

REMPAH DARI DESA – Aneka rempah dari desa kecuali penyedap micin

Setengah jam kemudian, juru masak yang didatangkan dari Kota Poso dalam balutan cheff profesional melakukan penilaian. Delegasi dari Desa Meko ini terlihat gembira, setelah panitia mengumumkan hasilnya. Kepuasan setelah unjukrasa kebolehan memasak juga tampak di setiap wajah peserta. Katagori juara dibagi dua kelompok. Juara 1 di kelompok I, diraih oleh Desa Tiu, juara 2 Desa Lape dan Juara 3 Desa Gintu. Di kelompok II, juara 1 diraih Desa Meko kemudian Desa Poleganyara dan Tokorondo, masing-masing juara dua dan tiga.

Ade Iin Hokkey dalam pengantarnya bilang, Moapu, dengan bahan utama dan bumbu rempah dari halaman rumah. Keluarga menyiapkan menu sehat dan bersih untuk keluarga. Makanan sehat dan bersih, ungkap ibu ramah ini tidak harus bahan yang mahal. Ketika dimasak  akan menghasilkan makanan yang mengundang selera untuk menikmatinya.

Selain itu, mewariskan resep kuliner asli Poso adalah salah satu cara untuk memastikan kuliner yang berpusat pada alam dan menjaga kehidupan bumi. Hal ini disebabkan karena bahan-bahan dalam kuliner Poso menggunakan berbagai jenis umbi-umbian, biji-bijian dan dedaunan yang ditanam organik atau tanpa mengekspoitasi tanah tempatnya bertumbuh. Poin penting lainnya adalah, Moapu di festival ini adalah tentang cara menjaga eksistensi pangan lokal. ***

Penulis: Amanda
Foto: Amanda

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: